Lembaran surat ini lama kupandangi. Bertahun-tahun, kertas yang ujungnya telah sedikit menguning ada di dalam kotak. Kotak kayu berukir, pemberianmu puluhan tahun lalu saat kita mengucapkan kata yang tak pernah kita inginkan. Kata perpisahan.
Sebenarnya aneh sekali menamakan lembaran kertas ini, surat. Karena hanya dua kata tertulis di atasnya.
Hi Amira.
Itu saja.
Kemudian, lama tak pernah aku berhasil menguatkan hati untuk melanjutkan menulis kata di atasnya, tertuju untukmu.
Pada saat kali pertama kuniatkan menulis surat ini untukmu, aku bingung.
Aku bingung untuk menemukan kata yang mewakili segala rasa untukmu. Setiap kali kata muncul di kepala, sekejap kemudian secara sadar dihilangkan niatnya untuk tertulis.
Rasa di hati dan kepalaku menolak untuk diwakili. Terlalu kecil wadah dari isi. Nampaknya.
Tapi sepertinya inilah saat yang tepat untuk melanjutkan yang lama tertunda.
Menulis surat untukmu.
…………..
Hi Amira.
Surat ini kutulis sambil membayangkan dua anak kecil yang berlari sekencang mungkin dari sekolah sampai ujung sungai sambi yang membelah belakang kampung kita tinggal.
Aku akan selalu ingat bagaimana kita berteriak macam hilang akal. Aku lupa kita berteriak untuk apa waktu itu. Mungkin berteriak tanpa alasan. Semata karena nampaknya itulah cara kita menularkan rasa suka pada semesta.
Betapa aku senang mendengar engkau berteriak-teriak di belakangku.
Semangatmu seperti kuman.
Menular terbang cepat di udara.
Kemudian kita melompat terjun dari batang pohon kelapa yang miring menjorok ke tengah sungai.
Dan kita pulang dengan hati senang.
Kuikuti langkahmu dari belakang. Kamu seperti lelaki yang dihukum memakai rok pergi ke sekolah.
“Raka, besok aku malas sekolah. Aku sebal sama Bu Sri. Kita bolos yuk!”
“Aku suka Bu Sri”
“Pokoknya kita bolos! Dan kamu harus turut kataku!”
Hahahaha. Betapa aku sebal. Tapi aku selalu memujamu.
Dan, kita menghabiskan waktu pergi ke pasar Anyar. Berkeliaran macam anak buangan.
“Amira, kita ngapain sih ke pasar?”
“Liat-liat aja. Kenapa sih kamu banyak nanya? Udah kamu diam aja. Ikut aja”
Dan aku menemani berkeliling pasar.
Tukang gulali di sebelah kedai soto kuah kuning. Tukang jual perahu seng yang bergerak saat terkena panas kapas yang terbakar minyak kelapa dan mengeluarkan bunyi yang keras bukan kepalang. Serta tukang jual ikan koki dibungkus plastik gembung kecil.
Capek. Tapi tak mengeluh. Kamu sahabat paling menyenangkan.
Kamu seperti George. Perempuan tomboy karakter favorit kita dalam buku Lima Sekawan.
Berdua, kita sepertinya anak yang paling hebat di dunia.
Paling badung.
Paling bahagia.
Atau jangan-jangan kita adalah dua anak kecil yang paling gampang dibuat senang?
Pengalaman kita menurutku kelas dunia!
Terhanyut berpegangan di gedebok pisang saat sungai meluap airnya.
Diseruduk kerbau karena iseng membuatnya bersin dengan alang-alang kering.
Dikeroyok lebah karena tak sengaja membuat rumah mereka jatuh dari pohon.
Nyawa kita hanya berjarak serambut dari maut.
Kita keren banget lah!
“Jadi, kita temenan sampai tua ya!
“Iya, Amira…”
Dan jalan hidup sepertinya bersekutu dengan kita.
SD bersama.
SMP bersama.
SMA bersama.
Kamu masih ingat, betapa kamu yang paling bersemangat saat surat cinta pertamaku dibalas Alika jaman kita SMP?
Betapa kamu yang paling berisik sementara aku dan Alika diam tak mengerti harus memulai saat kencan cinta monyet pertamaku. Dan kamu mendesak mau ikut.
“Kalah sama kuburan suasana kencanmu kalo aku nggak ikut!”
“Iya deh kamu ikut!”
Kencan yang aneh.
Kamu masih ingat, tangisan pertamamu karena putus cinta gara-gara si Ali?
Aku masih heran darimana nggantengnya tuh orang. Jelek, kurus, item, bau. Ini bukan karena aku cemburu ya. Murni pengamatan obyektif.
Aku ada di momen-momen terbaikmu.
Kamu ada di momen-momen terberatku.
Aku menggenggam tanganmu di momen-momen kamu butuh dikuatkan.
Kamu jadi yang pertama kali ikut tersenyum di momen-momen terbaikku.
Begitu seterusnya.
Sampai kita kuliah.
Sampai kita diterima di tempat kerja yang sama. Tapi beda departemen.
Sampai saat kamu jatuh cinta dengan Ryan.
Kamu demikian cantik dengan Ryan ada di sampingmu.
Ia berhasil membuatmu terlihat sempurna.
Di mataku.
Kotak ini kauberi saat ulang tahunku ke dua puluh tujuh.
“Nih, lo kan doyan tuh nyimpen-nyimpen sampah segala macem. Tiket nonton lah. Bon restoran lah. bahkan kotak korek api hotel. Ngerti banget kan gue?”
Yang tak pernah kamu tau, Aku menyimpan tiket nonton yang kubeli dengan gaji pertamaku untukmu.
Aku menyimpan bon restoran kali pertama kita jalan-jalan ke Madrid seperti mimpi kecil kita dulu.
Aku menyimpan kotak korek api hotel kecil di Nepal tempat kita merayakan persahabatan puluhan tahun.
Aku menyimpan rasa kita.
Sampai pada detil terkecilnya.
Dan kamu menikah.
Dan aku menyimpan dalam-dalam bahwa ternyata aku tak mau membagimu untuk yang lain.
Aku mau menjadikanmu sahabat dalam hidup.
Aku mau menjadikanmu istri dari anak-anakku.
Ternyata begini ya rasanya jadi lelaki konyol di film-film yang sering kita cela-cela itu.
Lelaki yang sadar terlambat.
Ternyata, jadi lelaki konyol itu menyesakkan.
Aku seperti menulis buku tentang hidupku sendiri dan kuasa untuk menentukan akhir cerita yang kumau, direnggut.
Ha ha … tulisan surat ini sebenarnya hanyalah sebuah pengakuan lelaki tertolol di dunia.
Umur dua puluh tujuh tahun kamu beri kotak ini.
Dua puluh tahun setelahnya surat ini panjang lebar ditulis.
Amira, engkau akan mengingatku sebagai sahabat sejati.
Aku akan mengingatmu lebih dari itu.
Engkau mungkin tak akan pernah membaca surat ini.
Tapi seperti aku yakin saat semesta bersekutu membuat kita selalu bersama.
Semoga rasa ini bisa tersampaikan dengan paripurna.
Sampai bertemu kembali. Amira.
Tertanda
-Raka-
……………………………………………………….
Nisan berpualam putih menghadap lembah dieng.
Kotak berukir di atasnya.