Monday, May 30, 2011

Jabang Tetuko. Ayo, Kenali Akarmu.




Aku rasa, setiap Ibu sejatinya adalah pendongeng yang hebat.

Aku selalu yakin, cerita bila di amplifikasi cinta akan menjadi luar biasa.

Sewaktu kecil, setiap malam, sebelum tidur, Ibu selalu bercerita.

Apa saja.

Cinta dua orang bernama Rama Shinta.

keluhuran hati seorang bernama Wisanggeni.

Hati yang bersih dari sosok raksasa adik dari Rahwana bernama Kumbakarna.

Apa saja.

Ceritanya bisa jadi melenceng dari pakem cerita utama. tapi imajinasi yang dilambari rasa kasih dan cinta. Tetaplah, sebuah cerita yang bermakna.

Aku selalu terkagum-kagum dengan ceritanya.

Nilai hidup meresap tak terasa.

Cerita Ibuku dulu, ternyata menjadi pondasi hidup.

Kulanjutkan kilas baliknya ya.

Jaman Aku masih SD, setiap liburan panjang, Aku selalu dilempar ke rumah Eyang Marto Utomo di Yogyakarta.

Masa-masa Aku menikmati libur panjang di Yogya menjadi lembar hidup yang sungguh berkesan.

Aku menikmati masa kecil yang penuh.

Setiap Rabu dan Jumat kalau Aku tak salah mengingat. Kami selalu berkumpul di ruang tengah di depan TV hitam putih merek Blaupunkt

TVRI Yogya memutar wayang orang.

Eyang Putri selalu menggoreng grabyas. Makanan terbuat dari tepung terigu, dicampur sedikit tetelan, digoreng semacam bakwan. dikawinkan dengan teh panas manis.

Aku selalu menikmati cerita wayang orang yang disajikan. Padahal ndak ngerti sama sekali bahasanya.

Mau bertanya pada Eyang Putri, aku kok rasanya sungkan sangking melihat Eyang Putri dan Eyang kakung demikian terhanyut dengan cerita.

Ya sudah, Aku mereka-reka saja.

"Oooo yang ini nih yang jahat!"

"Oooo ini berkhianat nih!"

"Waaah sakti sekali! bisa terbang!"

Imajinasi anak kecilku dipuaskan.

Aku selalu menunggu lakon wayang orang setiap hari yang kusebutkan tadi, meskipun Aku sama sekali ndak ngerti bahasanya.

Buatku, sungguh luar biasa!

Kembali ke kekinian.

Sekarang, setiap pulang kampung ke Semarang. Aku selalu siap sedia uang cadangan untuk membelikan mainan buat keponakanku tersayang Raihan.

Ben 10.

Thomas the Train.

Teletubbies.

Jauh di dalam hati. Aku sebenarnya menyimpan protes.

Karakter-karakter ini mengajarkan apa sih sama anak-anak sekarang?

Aku secara pribadi merindu karakter yang penuh kedalaman nilai hidup tapi tetap tampil dalam jiwa kanak-kanak yang mempelajari semuanya lewat bermain dan keleluasaan berimajinasi.

Sejauh ini, Aku merasa karakter Upin Ipin mewakili aspirasi itu.

Nakalnya anak-anak.

Penuh nilai membumi.

Walaupun bikinan negeri sebelah.

Yak, sekali lagi melebar tulisanku ini sodara-sodara heheheheh...

Akhir pekan kemarin ada pertunjukkan ini:

Jabang Tetuko, judulnya.

Tentang lahirnya Gatotkaca.

Haduh, aku seperti didongengi oleh Ibuku.

Cerita yang sanggup membuatku terkagum-kagum.

Aku ceritakan untukmu ya.

Jabang Tetukalahir dengan membawa keajaiban. Padanya, takdir beragam kesaktian mendekam. Sakti dari lahir! weleh weleh weleh! :)

Kelahirannya ini bertepatan dengan kemelut yang melanda kahyangan Jonggringsaloka.

Edan. Kalau mitologi Yunani punya Olympus tempatnya dewa-dewa. Lha, Jonggringsaloka ini sama hakikatnya.

Tempat para dewa dan bidadari tinggal mendapat serangan prabu Kala Pracona dari negara Ngembatputihan. Karena keinginan untuk menikahi seorang bidadari dari kahyangan Jonggringsaloka tidak dituruti, akhirnya raja dari para raksasa ini mengobrak-abrik kediaman para dewa. Seluruh kesatria kahyangan telah dikerahkan untuk menandingi kesaktian Kala Pracona, tetapi tak satupun yang berhasil.

Hal ini membuat para dewa panik dan mengutus Batara Narada mencari ksatria yang bisa dijadikan tameng untuk menjadi jagonya para Dewa. Setelah semua satria sakti dari bumi tidak bisa menandingi Kala Pracona, Batara Narada menemukan Jabang Tetuka yang masih berusia 16 hari. Meski masih bayi kesaktian putra Bima bisa dirasakan oleh betara Narada. Dan Jabang Tetuka dibawa naik Kahyangan untuk melawan raja raksasa pembuat onar.

Para dewa menggodok Jabang tetuko di dalam kawah Candradimuka. Berbagai pusaka dan senjata sakti para dewa turut dilebur dalam kawah yang bergejolak itu. Dalam sekejap bayi yang berwujud separuh raksasa berubah menjadi kesatria yang gagah dan rupawan. Berbagai leburan pusaka dan panasnya kawah telah merubah Jabang Tetuko menjadi semakin sakti. Karena fisiknya telah berubah, para dewa memberikan nama baru yaitu Gatotkaca. Yang memiliki arti berkumpulnya kesentosaan. Gatotkaca disebut juga 'satriyo babaran kahyangan' atau ksatria lahir dari kahyangan.

Tuh. Seru!

Mirwan Suwarso, sang sutradara mencoba membungkus cerita ini dalam pertunjukkan yang penuh kekinian dengan memadukan wayang orang, wayang kulit dan sinematografi modern. Usaha yang harus dipuji dan ndak usah lah kita buang energi dengan nyinyir mencela kekurangan di sana sini, kalau pun memang ada.

Mirwan menjaga pakem tradisional dengan menggandeng Ki Dalang Sambowo Agung dan Wayang Orang Bharata untuk kemudian berkawin dengan musikalitas seorang Deane Ogden, komposer music scoring untuk The Surrogates, Tron dan The Hitlist.

Stunt Coordinator, Benjamin Rowe, yang pernah mendapuk film macam Fast and Furious, dan Wolverine juga diajak serta.

Hasilnya?

Membanggakan.

Seperti yang Aku bilang di awal. Karya yang dilambari rasa cinta dan niat yang baik akan selalu menyentuh.

Aku bisa membaca kegundahan seorang Mirwan Suwarso sama seperti kegundahanku akan bocah-bocah jaman sekarang yang ndak ajeg pada akar budaya.

Pada tataran ide, Aku rasa kita harus hormat pada apapun usaha anak negeri untuk menghidupkan dan hidup dari akar budayanya sendiri.

Pada tataran pelaksanaan, well... Ada sih beberapa dari kawan-kawanku di media yang mengkritik bahwa panitia kurang tanggap, ndak rapih menggawangi mereka yang katanya pembawa berita untuk memahami esensi dari pergelaran ini.

Tapi apapun, Aku sih merasa harusnya niat mulia tidak boleh semena-mena dikuliti cacatnya oleh hal-hal yang tidak menyentuh esensi.

Disinilah kepekaan menangkap inti sebuah gagasan luhur diperlukan.

Seandainya Aku punya anak sekarang. Ketimbang mengajak anakku nonton orang berpakaian tokoh kartun meluncur ke sana sini pake sepatu ski es dan nyanyi-nyanyi ndak penting. Aku akan seribu kali yakin untuk mengajak anakku liat pertunjukkan macam begini.

Mengenal akar.

Mengenal jati diri.

Mengenal esensi nilai hidup.

Baik buruk.

Kegagahan.

Kejujuran.

Kerja keras.

Begitu deh :)

Silahkan dinikmati beberapa dokumentasi berikut ini:



Gambar dipinjam dari Veronica Kandi

Sunday, May 22, 2011

Memilih Tidak Sembunyi


Hi Janji yang tertunda itu akan kubalas dengan cerita...

Kamu boleh setuju, tidak pun boleh-boleh saja. esensi pertemanan kita kan tidak pamrih tapi membiarkan dua orang dengan pribadi yang berbeda tampil apa adanya dan bebas dari penghakiman :)

Dari kecil, Aku selalu diajar Ibuku bahwa Gusti Allah itu penuh kasih.

Lepas dari ritual keagamaan, Ibuku punya caranya sendiri untuk mengajarku berbicara padaNYA.

Mungkin engkau menyebutnya berdoa. Tapi sedari kecil aku ndak pernah tuh disuruh berdoa sama Ibu.

"Ayo, bicara padaNYA... karena nanti, kalau kau sudah besar, kamu pasti akan dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana bahkan kepadaku, Ibumu ini, engkau tak bisa mengadu. Engkau tak bisa meminta hatimu tentram dengan bicara padaku. Bicaralah padaNYA... tapi jangan hanya saat engkau gundah. Kabarkan padanya berita baik. Supaya saat engkau sedih dan butuh dihibur, IA akan dengan suka hati menerimamu dan mendengar cerita duka"

Kata Ibuku, Tuhan itu sumbernya kasih.

Apapun caranya Aku bicara denganNYA, IA akan selalu bisa mendengar. Mendengar apa yang ada di benak, bahkan pada relung yang paling dalam.

Aku ndak pernah diajar Ibu tentang firman Tuhan.

Tapi Ibu selalu berkata, bahwa firman Tuhan hidup dalam benakmu.

Maka dari itu, dengarkan benakmu dengan sungguh.

Karena di dalamnya Tuhan sudah menyuntikkan firman.

Ibarat komputer, firman Tuhan seperti software yang niscaya ada didalamnya.

Cara yang aneh belajar tentang Tuhan boleh lah kau bilang begitu.

Tapi, buatku pribadi, apa yang diajarkan oleh Ibuku ini, sukses mengantarkanku selamat melewati naik dan turunnya hidup.

Karena Aku merasa IA selalu dekat.

Karena Aku merasa IA tak pernah melupakan.

Karena Aku merasa IA menghiburku selalu saat duka.

Sedikit lepas dari alur cerita, mungkin inilah yang membuatku tidak pernah percaya konsep neraka.

Kalau neraka itu seperti surga, sebuah muara keabadian. Lalu untuk apa menghukum seseorang terus-menerus dan tak memberi kesempatan untuk memperbaiki?

Bisakah penghuni neraka naik kelas pindah ke surga?

Apa maksudNYA menciptakan siksa yang abadi?

Kalau surga itu tempat penuh kebahagian yang tak berkesudahan, apakah justru tidak menimbulkan kebosanan?

esensi dari penghukuman adalah supaya kita belajar? lalu, kalau dihukum dalam keabadian, pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Penghukuman tak berujung bukankah bertentangan dengan kodrat Tuhan yang katanya penuh kasih ya?

Ah, sudahlah, dalam ranah agama yang kamu anut dan dalami dengan sungguh-sungguh sampai belajar ke Amerika sana, pemikiranku tentang ini sah saja engkau cap dengan kata k-e-b-l-i-n-g-e-r :)

Tapi ada satu hal yang ingin Aku sampaikan berkenaan dengan ucapanmu kemarin.

Dari kecil, aku selalu diajarkan untuk selalu jujur. jujur pada diriku sendiri. belajar untuk selalu peka mendengarkan benak. mendengarkan nurani.

keputusan yang diambil, dijalankan dengan hati penuh. Dengan sepenuhnya sadar mengenai konsekuensi apa yang akan terjadi dan dijalani berkenaan dengan keputusan yang ada.

Pergumulan bahwa sejatinya Aku ndak pernah secara seksual tertarik dengan perempuan pun tidak mudah.

Tidak ada kata m-u-d-a-h untuk keputusan menerima kondisi sedemikian.

Sehubungan dengan ini, Aku dari kecil selalu merasa domba hitam yang berjalan pada sisi lain sebuah pagar nyaman dimana didalamnya domba-domba putih berkumpul dengan nyaman dan terkadang mereka berbarengan menatapku dengan pandangan penuh makna.

Aku aneh dimata mereka. hell yeah, Aku pun menganggap diriku juga aneh kok. anomali.

Tapi, bisa apa Aku?

Aku bisa saja sih dengan semir mengubah rambut dan buluku menjadi putih. Sama seperti mereka.

Dan itu berarti, aku harus menyemir rambutku seumur hidup.

Lebih dari itu, Aku harus hapal buku "bagaimana cara menjadi domba putih" seumur hidupku. Dan mengamalkan isinya seumur hidup.

Bisa saja sih. Toh, katanya, kalau sebuah kesemuan dijalankan dan dipercaya sebagai sebuah kebenaran dalam jangka yang lama, maka kita akan percaya bahwa itu adalah benar nyata adanya. bukan begitu?

Tapi, apakah itu yang mau Aku lakukan seumur hidup?

Hidup menawarkan banyak pilihan. Dan kita, ndak pernah punya hak untuk menghakimi.

Jadi, pada ujungnya. Aku memutuskan untuk jujur saja.

Menerima dan menyamankan diri dengan kondisi apapun yang ada.

Nggak mudah. modalnya satu. jujur aja.

Aku akan menganggap ini sebagai salah satu diantara banyak keputusan dalam hidup yang harus dijalankan dengan nurani yang jernih, penuh tanggung jawab.

Jadi gay. jadi manusia. jadi orang baik.

sesederhana itu.

Dengan konsekuensi yang sungguh jauh dari sederhana.

Aku bicara pada Tuhan, "Aku akan menjalankan hidupku dengan penuh kasih dan nurani. Kalau satu keputusan hidupku ini memang harus diubah. Maka Aku akan membiarkan rencana pengubahan itu berjalan menurutMU. Kalau dogma agama diberlakukan untukku. Ndak usah menunggu lama. sebentar lagi, ratusan orang akan menghampiri rumahku dan merajam dengan batu sampai aku mati pelan-pelan kok. Tapi Aku bicara padaMU pada tataran religi dimana tak ada pihak ketiga diantara Aku dan ENGKAU... Aku bicara padamu, ini keputusanku, aku jalani, kalau menurut salah, ENGKAU pasti tak pendek akal. Kutunggu rencanamu mengubah yang KAU anggap keliru"

Ibu kuajak bicara masalah ini.

Berat.

Berat sangat.

Tapi ini konsekuensi dari sebuah keputusan bahwa Aku tak akan sembunyi-sembunyi menjalani hidup. Dan pihak-pihak yang harus kali pertama mengetahui keputusanku, tentu saja beliau. Apa saja bisa terjadi. Dan Aku harus siap.

Jangan ditanya rasanya kayak apa.

Seperti membawa pisau ditangan dan disuruh menusukkan pisau itu ke jantung orang yang paling engkau kasihi, pelan-pelan.

Tapi keputusan harus dijalankan.

Konsekuensi harus diterima.

Kulihat gundah. Kulihat sedih.

Aku bersiap terima amarah.

Tapi Aku tak melihat amarah.

Aku cuma melihat kesedihan.

dan itu. Berat.

Dari mulut Ibuku cuma terucap, "Aku sedih. tapi Engkau telah menjadi lelaki dewasa. Dan melihatmu menjadi lelaki dewasa yang sadar dengan pilihan-pilihan hidupmu adalah doaku. Baiklah, hanya satu pintaku. Jangan suruh Aku berhenti berdoa dan meminta pada Tuhan. Sebab, jika ini harus diubah dan tidak ada manusia yang mampu mengubah, Kuharap Tuhan bisa mengubahmu"

So, here I am...

lelaki yang berusaha menjalani hidupnya. Itu saja.

Menyambung dengan ucapanmu kemarin saat kita ngopi-ngopi.

Boleh-boleh saja mendoakan. Engkau pasti akan mendoakan yang baik-baik. hal yang MENURUTMU baik.

Bagus. itulah guna seorang teman bukan?

Tapi jangan pernah berusaha mengubah hal yang diputuskan tak ingin diubah.

Dampingi mereka, jadilah teman dalam suka dan duka.

Siapa tau, kalau memang Gusti Allah menghendaki rencana hidup mereka diubahkan. IA meminjam tanganmu.

Tapi sekali lagi. Biarkanlah mengalir. Jangan menghakimi. Jangan menggurui. Jangan sok tau mana yang baik untuk mereka.

Soal kegalauan hatimu, sehubungan dengan pilihan-pilihan hidupmu.

Saranku cuma satu.

Jangan mengambil porsinya Tuhan dalam merancang hidup.

Setiap saat, Aku yakin, kita akan selalu bertemu dengan simpang jalan. Dan harus memilih.

Jujurlah. Mantapkan hati sesudahnya. Dan Aku yakin, semuanya akan baik-baik saja :)

Demikian ceritaku.

Semoga pilihan yang Engkau akan ambil kali ini berlandaskan kejujuran.

Karena menurutku, kita tak pernah bisa membahagiakan semua orang. Bahkan orangtua kita.

Tapi kalau memang pilihan itu diambil atas dasar ingin membahagiakan orangtuamu... yang sungguh engkau kasihi ... dengan -mungkin- konsekuensi mengorbankan kebahagianmu sendiri. Aku akan mendukungmu dan berdoa mengharapkan yang baik untukmu. Toh, itu menurutku sesuatu yang luhur.

selamat merenung, memilih, dan memutuskan.



Tuesday, May 17, 2011

Matah Ati. Senyawa Indonesia

Beberapa minggu yang lalu, sempat bicara dengan karib lama yang tinggal di Jerman.

Karibku ini kemudian bertanya,"Yang bikin kamu bangga jadi anak Indonesia tuh apa ya?"

Jawaban ala kontestan putri kecantikan segera dikeluarkan.

Gitu deh.

Tapi sebenarnya, Aku kalo ditanya begitu, butuh waktu lama buat menjawab.

Apa yang bikin bangga ya?

Jujur. Aku sulit menjawab.

Pertanyaan dan jawaban sekenanya berhenti di situ saja.

Sudahlah. Kerjaanku lagi banyak-banyaknya. Mbok mikir yang lebih penting saja.

Dasar nasib.

Minggu kemarin, Aku ketiban rejeki dapat tiket gratis nonton Matah Ati.

Dengar punya dengar sih katanya bagus.

Ngintip Youtube nukilan pertunjukannya, kok kayaknya ya benar adanya kabar yang kudengar itu.

Dari beritanya mbah google, konsep pertunjukkan Matah Ati ini mengacu pada langendriyan atau opera jawa yang diciptakan oleh Mangkunegoro IV dari Pura Mangkunegaran Surakarta.

Weleh, iki piye? Langendriyan yang Aku tahu, dialog di dalamnya disampaikan dengan nembang jowo. Bahasanya pun ndak main-main... kromo inggil! tuturan bahasa jawa kelas inggil yang sering kudengar dari eyang putri dan seringkali, aku yang ngakunya orang jawa saja ndak pernah mudeng alias paham maksudnya.

Aduh.

Yo wis, ndak apa-apa. Mari kita jadikan rasa penasaran itu sebagai bumbu.

Minggu lalu. Sembari menunggu pertunjukkan dimulai, Aku sudah ditampar lebih dulu.

Dalam buku program, Jay Subiyakto- penata artistik pertunjukan ini menulis,

"Mungkin hanya bangsa ini yang tidak malu ketika tidak mengetahui sejarah dan kebudayaan bangsanya sendiri"

Alamak.

Atilah Soeryadjaya- produser eksekutif dalam kata pengantarnya bicara,

"Ini lahir dari rasa prihatin dan mimpi. Aku ndak terima dan sedih. Mosok tho yo, di koran luar negeri ada di tulis "Solo is a haven for terrorist"... duh Gusti. Saya ingin menjawabnya dengan karya"

Saat membaca kata pengantar dua orang seniman ini saja Aku sudah ditampar dengan keras.

"Kebudayaan adalah siapa kita dan apa yang kita perbuat untuk kelangsungan jati diri Bangsa dan Negeri tercinta" -Jay Subiyakto.

Ah, Aku sudah tidak nyaman lagi duduk di luar. Aku ingin segera masuk.

Ayo, mulai pertunjukkannya dong!

Kawan, ijinkan aku mencoba bercerita semampuku tentang Matah Ati ini ya.

Matah Ati bercerita tentang roman seorang perempuan dari desa Matah bernama Rubiyah. Jatuhlah cintanya pada Raden Mas Said, bangsawan keraton yang karena intrik istana, terbuang dan menjalani hidup sebagai rakyat biasa.

Lelaku dijalankan. Rubiyah menjadi simbol perempuan jawa yang trengginas, kuat dalam kelembutan.

Kesetimbangan berlaku. Raden Mas Said. Lelaki yang memimpin dengan rasa. Mengikat perbawa.

Dengan ikrar "Tiji Tibeh, Mati Siji Mati Kabeh. Tiji Tibeh, Mukti Siji Mukti Kabeh" Ia membawa pengikutnya berjuang melawan kumpeni.

Hingga akhirnya Raden Said bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenagoro I dan Rubiyah menjadi garwa dengan gelar B.Ray Matah Ati, yang berarti melayani hati sang pangeran. Dari mereka berdua, turun para penguasa istana Mangkunegaran.

Amplifikasi rasa menerabas bahasa.

Biarkan saja kalau kamu, seperti Aku yang ndak paham bahasa jawa sebagai penutur.

Rasa disampaikan seperti udara yang masuk ke dalam pori dan diam di hati.

Lewat irama dan titi nada, kesenduan, kegundahan, dan suara hati Rubiyah langsung terasa.

Adegan dari babak pertama ini sungguh menggetarkan. Tentang Rubiyah yang gundah dan punya segudang pertanyaan tentang dirinya dan apa yang hidup janjikan untuknya. Aduh, bisikan lirih lewat tembang jawa yang bahkan bahasanya saja tak kumengerti kenapa bisa membuatku menitikkan air mata.

Ini adalah adegan saat rombongan Raden Mas Said melintasi desa Matah dan kali pertama bertemu dengan Rubiyah. Ada satu adegan setelah ini saat Raden Mas Said melakukan tapa brata kemudian menari dengan seorang gadis yang menitis dalam lelaku tapa. Aku dibuat merinding entah kali yang keberapa.

Adegan peperangan pasukan Raden Mas Said dengan pasukan Belanda. Caping dijadikan simbol gerilya.


Adegan Pesta Agung. Perayaan kemenangan sekaligus pesta pernikahan Raden Mas Said dengan Rubiyah.

Saat panggung tutup tirai. Pertunjukkan usai. Aku seperti menemukan cara menjawab pertanyaan, "Apa yang membuatmu bangga jadi anak Indonesia?"

Matah Ati adalah senyawa Indonesia yang menjelma.

Mungkin telat, tapi upaya mengumpulkan jawaban kenapa Aku wajib bangga jadi bagian bangsa besar bernama Indonesia, buatku bisa dimulai. Sekarang.



note: gambar diunduh dari berbagai sumber di internet, fotografer Davy Linggar