Saturday, July 30, 2011

Snape. Bahagia mencinta.


Dari pertama kenal dengan cerita mas Harry Potter si penyihir cilik dan kawan-kawannya. Aku sudah jatuh cinta dengan tokoh bernama Severus Snape.

Tokoh ini di awal kemunculannya saja sudah menimbulkan pertanyaan bagiku. Pasti ada sesuatu yang seperjalanannya cerita nanti, tokoh ini akan menghadirkan kedalaman cerita yang luar biasa.

Ternyata benar.

Makin Aku mengikuti semua karakter dalam cerita Harry Potter bertumbuh, makin nyata bahwa Snape punya banyak sisik melik yang justru bagiku pribadi, berhasil mengalahkan persona Harry Potter.

Menurutku, Snape ini nasibnya serupa dengan si buruk rupa 'The Phantom of The Opera', dan tokoh Remi di 'Perahu Kertas'

Cinta sederhana yang memilih kalah.

Cinta sederhana yang memilih untuk tak beresonansi.

Cinta dengan riak tenang yang kalah oleh roman cinta penuh dinamika drama.

Si buruk rupa 'The Phantom of the Opera' merelakan cintanya dikubur dalam sanubari saat Christine Deae memilih Raoul.

Remi 'Perahu Kertas' memilih mematahkan sayap cintanya saat Kugi pergi dengan sang pelukis.

Snape? mengkristalkan cintanya saat Ibunya Harry Potter, Lily Evans -cinta sejatinya sedari kecil, memilih James Potter.

Kalau cinta itu ibarat sepinggan nasi uduk legit lengkap dengan uba rampe lauknya.

Mereka bertiga ini berhasil menghaturkan nasi uduk dengan rasa terdahsyat tapi alpa belajar menghadirkan uba rampe lauknya.

Mereka tak pernah tahu bagaimana membawa empal daging gepuk, usus goreng, paru goreng, yang harusnya datang dalam satu paket.

Cinta sederhana yang walaupun tak hilang makna tapi ternyata hilang daya.

Sedih.

Cinta yang berujung devosi tapi tak punya kuasa untuk memiliki.

Si buruk rupa 'The Phantom of the Opera' membaktikan cintanya pada simfoni yang getir.

Remi memilih menikmati hangatnya rajutan cinta Kugi dan sang pelukis, dari jauh.

Snape?

Ia memilih berjanji menjaga Harry Potter, atas nama cinta yang tak pernah bisa dimiliki.

Ia tak punya pilihan kecuali menumpahkan devosi cintanya untuk Lily, pada satu-satunya keturunan perempuan yang dicintanya.

Tiga karakter pada kisah yang berbeda yang memilih keputusan sama.

Memilih tak berteriak pada dunia, pasrah, dan ikhlas.

Keputusan yang getir tapi juga merupakan pembuktian betapa besar kuasa cinta.

Bisakah kau bayangkan apa yang dirasa oleh Snape saat Ia tahu bahwa pada ujungnya, lelaki bernama Harry Potter ini yang susah mati dijaga dari kejauhan harus dibunuh atas nama takdir yang sudah disuratkan?

Sialan. Aku menangis pedih saat Snape menghembuskan napas terakhir di ujung cerita.

Kalau cinta itu sebuah rasa yang harus dibuktikan. Snape sudah tunjukkan buktinya untukku.


Friday, July 29, 2011

Jadi, beda ya?


Semua media sosial yang berkembang sekarang kurasa semakin membuat dunia ini begitu transparan seperti kertas tisu tipis.

Saya tau apa yang situ tau. Situ tau apa yang sini mau tau. Sini mau tau apa yang situ mau.

Gundah yang kutulis sekarang sebenarnya sudah dipendam beberapa waktu.

Atas nama sok sibuk, Aku baru bisa muntah sekarang.

pantes agak pusing belakangan ini. kayak mual yang ditahan saat harus meeting dengan klien. udah di ujung kerongkongan tapi harus nggak boleh dikeluarkan.

well, anyway.

Ada kubaca di linimasa twitter seorang kawan (yang sudah ku-delete dari jejaring pertemanan), begini:
"Parents, if you tolerate gay and lesbian, beware, next could be your children!"

Maaf kapasitas memori otakku yang hanya sebesar biji kedelai. Setidaknya itu yang kuingat.

Abis kejadiannya udah lama. Tapi kesan dari kalimat itu membekas.

Pelajaran yang kuambil:

Memahami perbedaan pemikiran sebagai dinamika hidup, ok lah, Aku mengerti. Tapi kalau dilambari dengan sebar-sebar fobia dan kebencian seenak jidatnya. Buatku justifikasi memahami perbedaan pemikiran kok ya kebablasan. Banget. Bahkan menurutku satu tindakan yang konyol dan idiot.

Katanya, dalam hidup, yang namanya perbedaan adalah keniscayaan. Ada terbilang, yang tidak pernah berubah dalam kehidupan adalah perubahan itu sendiri. Tapi ternyata bersepakat, memaklumi, dan memahami bahwa perbedaan itu ada sebagai harmoni hidup, bukan hal mudah. termasuk didalamnya soal gay dan lesbian.

Aku sungguh berharap, bahwa ketika kita memaklumi perbedaan itu sebagai sebuah keniscayaan anugerah dari Sang Hidup, semoga saja tidak ada lagi nada pelecehan dalam kalimat, "Jadi situ gay ya?" ... karena percayalah, mau itu gay, lesbian, waria, atau apa kek pilihan hidup mereka... percayalah bahwa keputusan mereka menjalani hidup seperti yang mereka mau itu harus melalui pergumulan yang sungguh berat dan pemikiran yang dalam.

Takut atas satu hal yang nggak kita pahami. Wajar. Tapi kalau kemudian karena hal itu muncul pelecehan. Kemanakah nurani?

Soal dosa. Well, di dunia ini ternyata banyak sekali diantara kita yang terlalu jumawa dengan mengambil porsinya Gusti Allah. Kemanakah landasan welas asih?

Dan yang terakhir,

sekarang kita semakin gampang kok membedakan. Siapa yang berbudaya. Dan siapa yang monyet.


Hehehehehe ....

Sunday, July 10, 2011

Karcis Pesawat atau Bus?


Waktu Aku kecil, Aku suka sekali lagu ini:

Jika Kusudah besar nanti
Kupergi dengan Ibu
Ibu boleh pilih sendiri
Kemana yang dituju
Jika Ibu pilih Yogya, Bandung, dan Semarang
Aku yang beli karcisnya
Karcis kapal terbang

Lagu ini sedemikian melekat di kepala kami berdua -Aku dan Aan adikku. Maklum, buat kami, bepergian dengan pesawat terbang itu cuma terjadi di film yang kami tonton di televisi, dan di dalam mimpi hehehehe ...

Dulu, kami terbiasa naik bus antar kota antar propinsi. Jangan bayangin yang kelas eksekutif. Kaki selonjor lega pake leg rest, selimut, terus ada video diputar sepanjang jalan.

Widiiih boro boro hahahah, jaman dulu belum ada kali gak sih?

Kami dulu naek kelas kambing. Kelas ekonomi punya lah! eh, melenceng dikit, kenapa istilahnya kelas kambing ya? kasian kambing. buat menunjuk hidung orang yang dikorbankan, kambing hitam. Kelas kasta terendah, kelas kambing. Siapa yang pertama kali menggunakan istilah ini? kenapa nggak kebo item, kelas kebo?

Anywaaaay, yuk balik ke cerita awal :)

Setiap libur panjang sekolah. sebagai ritual. Dan dalam rangka mendukung Bapak dan Mamah supaya bisa berasa pacaran lagi, nggak ngurusin kami berdua yang badung-badung ini. Aku dan adikku selalu dilempar ke Yogya.

Ada tiga nama Bus kelas ekonomi ternama kala itu yang menjadi langganan kami. Limas, Garuda, dan Nan Tungga.

Pemilihannya bukan tanpa alasan. tiga nama itu diurut dari yang paling mahal sampe yang termurah. Yang termurah tentu saja Nan Tungga. Entah, masih ada nggak sih sekarang? Setiap menjelang keberangkatan ke Yogya, harap-harap cemas kami menunggu Bapak pulang dan berdoa, semoga saja bukan karcis bus Nan Tungga yang dibeli.

"Pak, beli karcis bus apa?"

"Nan Tungga"

Yah, lemes dah.

Bukan apa-apa. bepergian dengan bus itu serasa menempuh perjalanan Bogor-Yogya, pake Metromini! hahahaha

Yah, udah kebayang kan?

Limas dan Garuda sedikit menyisakan ruang buat kaki Bapak dan Mamah untuk sedikit selonjor. dengan pantat yang harus disesuaikan selang seling kalau mau enak duduk. Bapak pantat maju, Aku mundur, Mamah maju, Adik mundur. errrrr... kok berkesan mesum ya? ahahahaha ya gitu deh susah mendeskripsikan dengan kata-kata. Pokoknya kalau pernah naik taksi yang satu taksi diisi sama orang sekampung saat jeda makan siang rame-rame anak kantor, ya kayak gitu deh.

Perjalanannya menyimpan kenangan.

Upil yang menghitam karena jelaga debu seperjalanan. Hahahah, Aku dan Aan dulu suka taruhan siapa yang upilnya paling item sesampainya kami di Yogya.

Kalo lagi apes, kami duduk di lajur bangku yang atasnya bocor saat hujan. Lengkaplah atribut penyebab kami semua ndak bisa tidur sepanjang jalan. Kalo udah begini, kami mukanya serasa mulut semua karena manyun hahahahah. Nasib, ya udah lah terima aja.

Menjelang tengah malam, bau minyak angin cap kapak menyeruak. Bercampur bau keringet karena.. ya gitu deh, nggak ada AC. Si Mamah suka berusaha menghibur dengan melempar tebakan garing, "Ayooo bangku mana yang pake minyak angin?" sigh .... maaf Mah, tebakan ditanggapi dingin hahahah.

Kalau uang beneran cekak. Di perhentian untuk makan malam, biasanya di daerah Sukamandi atau Indramayu, Bapak cuma mbeli 4 butir telur rebus yang masih hangat dan roti kampung. Itu lho, roti ala-ala Tan Ek Tjoan yang ndak pake mentega, jadi agak keras dan rada hambar rasanya. Atau dari rumah, Mamah sengaja bawa nasi rantang. makan di dalam bus, soalnya mau numpang duduk di restoran kok ya agak rikuh.

Mengabaikan itu semua, kami ndak pernah ngeluh. Lha wong mbayangin liburan ke Yogya itu mungkin rasanya seperti anak sekarang yang dibilang mau diajak jalan-jalan ke disneyland kali ya. Jadi ya menyenangkan.

Dan juga ternyata indah dikenang.

Kembali lagi ke lagu yang tadi:

Jika Ibu pilih Yogya, Bandung, dan Semarang
Aku yang beli karcisnya
Karcis kapal terbang

Aku dulu pernah bilang, "Mah, pokoknya kalo Agus dan Aan nanti udah gede, Mamah kemana-mana Aku beliin karcis pesawat ya. Ndak usah naek bus lagi"

Kalo inget celetukan itu. Doaku terkabul :)

Eh, ini sebenarnya nyeritain tentang pesawat atau bus kota sih?

Ah sudahlah :)