Tuesday, December 06, 2011

Jangan Cengeng!



Setiap Aku gundah, yang pertama kali Aku lakukan adalah berusaha mengingat-ingat apa saja yang pernah si Mamah pernah bilang atau ajarkan ketika Aku kecil.

Aku merasa, secara pribadi, runtutan kejadian-kejadian masa kecilku dan bagaimana si Mamah mengajarkanku untuk menghadapinya, sungguh berpengaruh terhadap bagaimana aku melihat suatu permasalahan serta kemudian merumuskan apa yang harus dilakukan.

Seperti sekarang. Di saat sedang putus asa dan kayaknya kok ya udah ndak ada energi untuk lebih trengginas menghadapi beberapa masalah, Aku inget si Mamah pernah bilang:

Gus, cuma Gusti Allah yang punya kemewahan untuk bilang,"NGGAK BISA!". Jadi, jangan cengeng! nggak ada yang nggak bisa! pilihannya cuma kamu mau apa enggak!

Mamah, mengajarkan ini dengan cara yang spartan.

Kadang, Aku dulu sungguh sebal dibuatnya.

Kalau dia tidak percaya Aku sudah melakukan yang terbaik. Beliau ndak segan menyuruhku mengulang semuanya dari awal.

Melakukan yang terbaik bukan berarti harus jadi yang paling bagus, nomor satu, atau apalah ... kurasa bukan itu esensinya.

Tapi beliau sepertinya berusaha memastikan bahwa setiap hal yang dikerjakan harus sepenuh hati.

Filosofi ini tentu dulu aku ndak pernah memahami. Namanya juga anak kecil. Taunya cuma senang-senang.

Tapi sekarang, berasa banget!

Dan malam ini, ucapan itu kembali terngiang:

Cuma Gusti Allah yang punya kemewahan untuk bilang,"NGGAK BISA!"

Makanya Gus, JANGAN CENGENG! KAMU PASTI BISA!


Sunday, December 04, 2011

Haus?



Kemarin, kawanku bercerita:

"Gus, ini yang terjadi di kantor gue. ibaratnya, Mereka tau Gue haus! Tau banget!"

"Tenang, Kita tau banget kamu haus, air minum segera datang besok!", Kata mereka.

"Yang Mereka nggak sadar Gus, kalo gue harus nunggu sampe besok, gue bakal mati karena dehidrasi!"

..........................

Aku sekali lagi teringat dengan analogi Eyang Kakung tentang hidup.

Dia bilang, hidup itu seperti pertunjukkan wayang.

Gusti sing paring urip memberikan cerita besarnya untuk kita.

Kembangan cerita diserahkan pada sang dalang.

Kitalah sang dalang itu. Kitalah yang memberi warna pada cerita besar yang sudah diterima.

DibekaliNYA kita dengan satu kotak wayang dengan beragam karakter didalamnya untuk menjahit kembangan cerita sesuai yang kita inginkan.

Susah.

Senang.

Sedih.

Gembira.

Getir.

Tawa.

Apa saja.

Berdasarkan analogi ini kawan, kalau Aku jadi kamu, gunungan wayang segera Aku balik! Babak cerita baru segera Aku mulai! Aku ndak akan menunggu sampai besok untuk mereka memberikan air minum pengobat haus.

Aku akan mencari oase dengan caraku sendiri! apapun caranya! apapun konsekuensinya!

Karena Aku percaya, kita ini bukan wayang di dalam kotak yang menunggu terambil.

Kita adalah, SANG DALANG.





Wednesday, November 30, 2011

Membalik Halaman

Lembar baru

Tantangan baru

Cerita baru

Wahai hidup, telah kau siapkan petualangan apa untukku?

Halaman hidup siap berganti.


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Tuesday, November 29, 2011

Lilin Terakhir



Sepekan lalu aku bertemu dengan Bapak. Palgunadi T Setiawan.


Beliau adalah mantan petinggi ASTRA. Aku bertemu dengannya dalam rangka pekerjaan.


Pertemuan yang sungguh menyenangkan. Aku seperti berbicara dengan Eyang Kakung.


Bahkan Beliau sempat mendongeng untukku. Dongeng yang indah.


Begini ceritanya:

Tinggallah 4 lilin di dunia ini sebagai penerang.

Masing-masing berusaha bertahan agar tidak hilang nyala.


Lilin pertama punah pendarnya. Lilin itu bernama MARTABAT


Lilin kedua kalah dan mati. Lilin itu bernama PEDULI


Lilin ketiga menyusul menyerah. Lilin itu bernama CINTA

Tuhan kemudian mengirimkan malaikatnya untuk menjaga agar dunia tidak gelap gulita.

Lilin terakhir penerang dunia tidak boleh mati.

Tuhan mengirimkan malaikat terbaiknya.

Malaikat itu bernama PERCAYA

Dan, lilin terakhir itu bernama HARAPAN

...............................



Wednesday, November 23, 2011

Kaki

Dari seorang kawan:

"Gus, rejeki itu kakinya sepuluh...lo cuma dua. Kalo lo ngejar rejeki, nggak bakalan bisa! Satu-satunya yang lo bisa kerjakan adalah gimana caranya lo bikin diri lo semenawan mungkin sampe akhirnya rejeki yang ngejar! Bukan lo!"

Well noted my dear friend....


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Thursday, November 17, 2011

Mencinta..

Saat ini, cinta itu sudah tak seperti api.

Ia seperti bara yang menempel pada kayu yang rela terbakar api.

Hangat.

Nyaman.

Demikianlah Aku mencintaimu.


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Tuesday, November 15, 2011

Seimbang Setimbang

Terinspirasi dari ucapan Bapak Donald Trump.

Katanya, pernyataan yang begini:

"Aku mau hidupku 'balance' ah antara pekerjaan dan kehidupan pribadi..."

Ternyata nggak bener.

Karena menurutnya, di dalam pernyataan tersebut, ada unsur keterpaksaan.

Alih-alih mengeluarkan energi ekstra utk secara cermat membagi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, kenapa nggak berusaha untuk mencintai pekerjaanmu hingga bisa sedemikian menyenangkan utk dijalani?

Therefore, he said,"you really got nothing to lose..."

Hemmm... Good point pak...


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Monday, November 14, 2011

Bisik

Ibuku berkata:

"Kalo nanti Aku meninggalkanmu... Sedih boleh tapi jangan berlebihan ya. Aku kan sudah satu komplek dengan Gusti Allah, dengan demikian Aku akan lebih mudah mbisikin DIA apa aja yang baik buat Kamu..."

.....................

OK... Mari kita mewek berjamaah.


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Thursday, November 10, 2011

Selimut Hati


Selimut ini hadiah paling nyleneh yang pernah diberikan si Mamah.

Selimut ini hadiah ulang tahunku, tiga tahun lalu.

Selimut puskesmas, kami menyebutnya.

Bisa dibeli di pasar tradisional. motif garis-garis dan dulu sih, selalu jadi selimut rumah sakit kelas ekonomi.

Setiap orang punya penanda rasa.

Sebuah benda tempat kita menitipkan kenangan saat nanti memori di dalam kepala dan benak tak bisa lagi menemukan jejaknya karena usang termakan usia.

Demikian juga dengan selimut ini.

Aku masih ingat, bersama dengan selimut bermotif garis ini, kami bertiga -Aku, Aan adikku, dan si Mamah duduk bersisian di depan teras berselimut untuk menghangatkan kaki kami sambil menikmati teh manis hangat wangi melati saat hujan.

Momen kecil sederhana yang indah.

Aku juga masih ingat, bagaimana kami bertiga berkumpul di tempat tidur, berselimut motif garis-garis itu sambil menikmati cerita si Mamah atau sekedar berkeluh kesah sebelum tidur.

Momen kecil sederhana yang indah.

Selimut motif garis punya pertalian yang erat dengan masa kecil dan rasa nyaman cangkang aman bernama: R-U-M-A-H

Tiga tahun lalu, saat Aku sedemikian sering mengeluh rindu dengan rumah. Rindu pulang.

Mamah memberiku selimut itu.

Sebagai penanda rasa.

Hadiah nyleneh tapi maknanya luar biasa.


Sunday, October 30, 2011

Merona Karena Rhoma


Jaman Aku masih kelas 3 SD, karena kondisi keuangan kami saat itu, kami mesti merelakan rumah yang kami miliki untuk dikontrakkan sebagai tambahan penghasilan.

Kami, suka nggak suka mesti suka harus pindah ke sebuah rumah petak kecil kontrakan di pinggiran kota Bogor.

Kampung Kramat, nama desanya.

Ngenes banget hati ini rasanya, dulu.

Kontrakan yang kami tempati, sebuah ruang yang disekat menjadi ruang tamu yang berfungsi sebagai ruang nonton TV dan ruang belajar, satu buah kamar tempat Aku, Aan adikku, dan Mamah beristirahat, dan satu dapur kecil.

Ada 4 rumah petak berjejer di situ. Rumahku yang paling ujung sebelah kiri. berurutan, berikut adalah tetangga kami disana:

Rumah petak no.2:
Pak Sodikun. Pemilik gerobak gorengan. Ini perasaanku saja, tapi dulu, menurutku pisang molen jualannya adalah pisang molen terenak di Bogor hehehehe. Ibu Sodikun dulu di kampungnya mungkin pernah juara baca Al-Quran. Kalau waktu Isya tiba, kami lamat-lamat mendengarkan Ibu Sodikun membaca ayat-ayat Quran dengan indah. Junaedi, yang biasa kupanggil Edi, seumur denganku. Jago main petasan bumbung bambu kalo puasa tiba, nakal luar biasa, tapi teman berenang di kali yang menyenangkan. Dulu, aku sering terkagum-kagum dengan kemampuannya salto dari batang kelapa yang miring menjulur ke kali. Seperti liat atlet loncat indah di acara Arena ke Arena dulu di TVRI hehehe.

Rumah petak no.3:
Mbak Emilia. Kerjanya sih kata Mamahku dulu adalah Lighting Girl di klub malam. Aku ndak tau apa maksudnya profesi bernama Lighting Girl ini. Tapi yang Aku tau, Mbak Emilia selalu berangkat saat kami mulai beranjak tidur dan pulang saat kami mau berangkat sekolah di pagi hari. Pernah satu kali, Mbak Emi ini mabuk luar biasa. Pintu kami digedor dengan marah karena kuncinya tak bisa membuka pintu. Ya iyalah, lha wong salah rumah ahahahha. Beberapa bulan setelah kami tinggal di sana, Mbak Emi hamil di luar nikah. Mamahku yang kelabakan mencari dukun beranak saat Ia melahirkan. Satu bulan setelah melahirkan, radio tape satu-satunya milik kami dicurinya. Mbak Emi hilang sesudah itu.

Rumah petak no.4:
Mas Budi. Dulu sih ngakunya beliau ini wartawan. Di kamarnya, berserakan banyak tabloid Monitor, Majalah Senang, Jakarta Jakarta, dan majalah Ria Film. Aku paling suka membaca majalah Ria Film di rumahnya. Dari majalah itu, aku tau tentang Lin Ching Shia, Andy Lau, dan film-film mandarin yang bisa kulihat di video rumah Pak Haji Ali dengan membayar 50 rupiah hehehe ... betul, di kampung itu, kita bisa nonton video selayaknya pergi ke bioskop dengan membayar.

Di depan rumah petak kami, tinggallah keluarga Pak Ali. Pak Ali ini supir angkot nomor 08 jurusan Pasar Anyar - Citeureup. Istrinya setiap pagi berjualan lontong sayur dan bihun goreng. Kalau si Mamah punya uang belanja lebih, kami menikmati sarapan mewah lontong sayur atau bihun goreng bertabur telur dadar buatan Bu Ali.

Dari mereka-mereka inilah akhirnya Aku menyukai dangdut.

Harus kukatakan, sedari kecil kami - Aku dan Aan adikku, terpapar dengan banyak jenis musik.

Mamahku penyuka sejati Janis Joplin, Deep Purple, The Doors, The Rolling Stones, The Beatles, Frank Sinatra, Nancy Sinatra, Pat Boone, Elton John, dan Eric Clapton

Kami tumbuh dan belajar menyenangi penyanyi yang kusebutkan tadi.

Selain itu, Mamahku juga suka Utha Likumahua, Vina Panduwinata, Elfa's Singer, bahkan jajaran artis-artis JK Record hahahaha

Tapi. Tidak pernah. Menikmati. Dangdut.

Awal-awal kami pindah ke Kampung Kramat. Kami tersiksa.

Alih-alih kami dibangunkan oleh kokokan ayam jago, pagi kami dibangunkan oleh suara Hamdan ATT yang membahana, berasal dari kaset yang diputar oleh Pak Sodikun.

Dinding kamar rumah petak itu demikian tipis. Kami merasa terganggu tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Belum lagi, kalau sambil menyiapkan dagangan gorengannya, Pak dan Ibu Sodikun duet bernyanyi mengiringi Hamdan ATT, Mansyur S atau Ida Laila.

Berisik. Berisik. Berisik.

Tapi nampaknya, di lingkungan itu, cuma kami saja yang merasa terganggu. Yang lain sepertinya menikmati.

Lain Pak Sodikun, lain pula Pak Ali.

Pak Ali ini penyuka semua lagu-lagu Rhoma Irama.

Setiap hari, kalau Pak Ali ada di rumah, semua lagu-lagu Rhoma Irama yang dimilikinya diputar.

Kalo radio tape Pak Ali bernyawa, mungkin akan berteriak, "Hentikaaaaaannn!!!! aku lelaaaaah!" hahahahaha

Lama-lama kami terbiasa.

Lama-lama kami suka.

Apalagi Rhoma Irama.

Tanda-tanda kami mulai menyukai lagu dangdut ternyata menjadi 'social lubricant' yang ampuh untuk kami bisa lebih diterima sebagai bagian 'keluarga' di komplek rumah petak itu.

Dari Pak Ali, aku mendengar cerita tentang betapa hebatnya Rhoma Irama.

Setiap mendengar ceritanya yang berapi-api, tumbuhlah rasa kagumku.

Rhoma Irama, hebat!

Kekaguman makin menjadi saat Aku mulai cinta dengan lagu-lagunya.

Setiap pulang sekolah, Aku meminjam kaset-kaset milik Pak Ali. Aku pelajari cengkok lagunya, Aku hapal liriknya.

Susah. Karena menurutku, harmoni pada lagu-lagu Rhoma Irama itu harus dibawakan dengan perasaan. Setiap lagunya punya jiwa dan karakter sesuai isinya.

Hebat!

Pada akhirnya, aku mengidolakan Rhoma Irama dengan sepenuh hati.

Lagu-lagunya menghibur kami sekeluarga saat kami dirundung lara.

Well, nggak cuma keluarga kami nampaknya. Tapi juga keluarga Pak Ali, Pak Sodikun, Mas Budi, bahkan Mbak Emi -kalau Ia lagi nggak mabuk hehehehe.

Bahkan, saat film terbaru Rhoma Irama bersama IDA IASHA berjudul Nada dan Dakwah diputar. Kami beramai-ramai naik angkot Pak Ali pergi ke Cibinong Theatre ikut mengantri nonton. Tiket? 400 rupiah saja waktu itu plus paha bentol-bentol karena digigit kutu busuk :) maklum, kursinya kursi kayu yang tak terawat hehehehe.

Aku punya impian, pada satu saat, Aku harus melihatnya bernyanyi langsung di depanku!

Mimpi itu, kubawa sampai saat ini. Beberapa kali kesempatan untuk melihatnya bernyanyi lewat begitu saja karena satu dan lain hal.

lebih dari dua puluh tahun, aku memendam mimpi ini (mulai lebay hahahahaha)

Sampai akhirnya, kudengar Rhoma Irama mau manggung di Studio 3 dan 4 MNC TV!


Aku bertekad untuk datang.

Jejaring pertemanan digunakan. Tapi tak ada yang seratus persen menjanjikan kepastian aku bisa masuk ke studio 3 dan 4.

Peduli setan. Aku nekad datang kesana.

Seperjalanan. Aku sudah panas dingin.

Antusias dan rasa kuatir campur aduk.

Sampai di MNC TV, aku bingung.

Tak ada orang untuk bertanya.

Akhirnya ngikut nggrombol dengan orang-orang yang kuasumsikan ingin masuk juga ke studio 3 dan 4.

Ternyata benar.

Aku diterima sebagai keluarga besar hahahahaha.

Keluarga besar pecinta Rhoma Irama.

"Sampeyan suka dengan Rhoma Mas?"

"Iya..."

"Wuiiih uedaaan ... Sampeyan kayak bukan penggemar dangdut. Bajunya klimis kayak eksekutif muda!... nama saya Jumadi mas!"

"Saya Agus...", duileeee baju klimis ala eksekutif muda?! hahahaha bo', cuma pake kaos polo sama jeans kaleeeee.

"Lagu favoritnya apa Mas Agus?"

"Setitik air hina mas... saya hapal jaya!"

"Wuiiiih ... lagunya susah tuh mas!"

Ampun, aku bangga banget! hahahaha

Detik-detik menjelang siaran live on-air jam sembilan malam.

Saat itu sudah jam delapan. Tak ada kepastian Aku bisa masuk studio.

Aku sudah resah tidak karuan.

Pokoknya, gimana caranya, aku harus masuk. Mimpi itu tinggal sedikit lagi bisa diwujudkan. Aku harus berjuang! (mulai lebay lagi hahahaha)

Aku berjanji, kalau sampai bisa masuk, aku mau sujud syukur di pintu studio.

Timbul Ide, melipirlah ke gerombolan penonton berbayar. Dengan tujuan, kalau pintu studio terbuka, aku bisa masuk ikut arus penonton berbayar.

Salah!

Koordinator penonton berbayar, bermata setajam elang! hahahahah

"Eh, yang ini bukan penonton bawaan gue nih! BAJUNYA BAJU ORANG KAYA!!"

Duileeeeeh ... pake KAOS POLO SAMA JEANS!!! ... mau nangis rasanya.

Harapanku untuk bisa masuk mulai punah.

Sampai akhirnya, kawannya kawanku Indi menghubungi.

"Halo, Agus ya? sorry, Aku dikasih tau Indi katanya kamu panik nggak bisa masuk? gue tadi abis meeting jadi nggak bisa langsung ketemu... lo ada dimana? gue samperin deh"

Senyumku mengembang seperti bolu kukus yang matang sempurna!

Tuhanku! impian itu terwujud!

Aku bisa masuk studio 3!!!!!

sepeninggal kawannya Indi setelah diantar masuk ke dalam, AKU SUJUD SYUKUR!!!!! hahahahaha

Peduli setan!

Saat pertunjukkan dimulai. Saat Rhoma Irama mulai menyanyi TAK SAMPAI 10 LANGKAH jaraknya dariku.

Aku menangis.

Mimpiku dijawab.

Satu lagu pertama, "Viva Dangdut" ... aku bernyanyi sambil menangis.

Setelah itu, Larutlah dalam keriaan.

Malam itu malam yang paling indah.

Malam saat diriku dibuat merona karena Rhoma.

Terima kasih Gusti Allah.

Satu lagi bukti bahwa doa itu PASTI dijawab.

Mimpi itu pasti terwujud kalau kita percaya.




Sunday, October 16, 2011

Let's Rumble...


Dear Problems,

please bear in mind that I am still .... and will always be a FIGHTER!

so let's rumble.

The Pianist


Sebenarnya cerita ini pernah kutulis dan diposting. Cuma, kok pengen ditulis kembali :) ... enjoy!

...............................................

Kedai kopi ini sempurna.

Karena, kedai kopi ini menyediakan cangkang yang nyaman saat aku butuh menyendiri mencuri sedikit sunyi.

Karena, kedai kopi ini menyediakan teh bunga yang mujarabnya tidak kalah dengan satu cangkir kopi kental. Dimana lagi ada kedai kopi yang menyandingkan kenikmatan seimbang setimbang kopi dan teh.

Karena, kedai kopi ini adalah panggung kecil yang menampilkan fragmen-fragmen hidup.

Lelaki temu janji dengan perempuan selingkuhan. Adu mulut kecil kemana dan dimana bersembunyi mencari sarang kecil memadu cinta.

Perempuan yang menyeka mulut anak lelakinya yang terlalu bernafsu menikmati roti coklat dan meninggalkan lelehan coklat dimana-mana di sekitar mulut dan kerah baju.

Lelaki bertemu lelaki dan curi-curi berpegang tangan di bawah meja. Cinta itu akan selalu indah jauh melampaui batasan jenis kelamin.

Lelaki menghibur belahan jiwanya dengan kado kecil dan perempuan yang menjerit kegirangan.

Disinilah aku menyendiri mencuri sunyi.

damai sekali.

dan sekali lagi, kulihat dia.

melihat jemarinya menari perlahan diatas tuts piano, selalu meninggalkan kesan rasa.

Terkadang, iramanya membawaku seperti menari di rinai hujan yang bergerak perlahan.

Terkadang, iramanya membuatku merasa rindu tak berketentuan.

Jangan ditanya aku rindu pada apa atau siapa.

Aku tidak tahu.

Aku cuma merasa rindu.

Sekali lagi, kulihat dia hari ini.

Wajahnya kuyu.

bahunya layu.

tak kulihat jiwa di bola matanya.

kemanakah Ia? ... sepertinya jiwanya mengembara.

jemarinya menari pelan.

pelan sekali.

bergerak satu-satu.

denting piano yang Ia mainkan seakan berteriak,

"Kamu tinggalkan aku kelu..."

dan tatapan matanya menyapu ujung jalan yang terlihat dari jendela kedai kopi ini.

Matanya bercerita,

"Aku masih ingat sayang, saat pertama kali aku melihatmu di ujung jalan sana .. berlari-lari menghindari rinai hujan yang rindu ujung celana khaki-mu .... aku sudah jatuh cinta"

"Dan hari berikutnya..."

"Hari berikutnya..."

"Sampai kehadiranmu di ujung jalan sana membuatku kecanduan"

"Hari saat engkau buka pintu kedai ini, adalah hari paling menyenangkan buatku ... meskipun, engkau tak tahu"

"Jemariku seakan berjiwa saat engkau datang. Ia bersenandung girang. Ah, semoga saja rasa itu juga kau bisa raba"

"Aku kecanduan di kali pertama"

Ternyata benar, hidup itu adalah energi yang bertransformasi.

dari pojok ruangan kedai kopi ini, kurasakan hatinya bicara. Lewat denting, lewat mata, lewat air muka.

Sekarang aku semakin awas mengamati bahasa tubuhnya.

Wahai pemain piano, apa lagi yang engkau rasa?

Bahunya makin lunglai. Bahunya bicara,

"Jemariku sekarang sudah berpindah pemilik ... Ia menari di atas tuts piano ini atas kuasamu ..."

"Sekarang, aku kelu .... aku rindu..."

Aku di pojok ruangan juga merasa pilu.

Sekarang, Ia berdiri ... tatapannya menatap ujung jalan.

"Guys, gue balik dulu ya .... sampai ketemu besok...."

Ada kucuri dengar,

"Kasihan ya mas Raka ........ Mas Bayu itu orang baik, kok meninggalnya cepet"

Teh bunga di cangkirku membeku.

Wednesday, September 14, 2011

"Biar aja Tuhan yang bales!" ... Menurut LO?!


Kemarin, dari linimasa twitter kawan muncullah celetukan:

"Ya udahlah, biar Tuhan yang balas!"

Ada yang aneh nggak dari pernyataan itu?

Untuk melatih isi otakku yang isinya ya, cuma segitunya saja :) Aku mau sok nulis dalem ah ... bwihihihih...

Pertanyaanku sehubungan dengan pernyataan diatas tadi sederhana sih:

Kalo memang saat ini kita diperlakukan tidak menyenangkan, tidak adil sama orang lain. Jangan-jangan ini adalah reaksi dari aksi kita yang juga tidak menyenangkan kepada orang lain sebelumnya. Lha, kalo kayak begitu, siapa yang menjahati siapa ya? :) Lha, terus, kok ya minta dan berandai-andai Gusti Allah membalas. Lha, membalas kepada siapa? pada kita? pada dia?

walhasil, sebenarnya pernyataan di atas itu mbingungi. Mbikin blunder :)

Simbahku pernah mengajarkan analogi ini:

Hidup itu seperti pertunjukkan wayang.

Gusti Allah menyediakan layar besar, gebyok untuk menempatkan wayang-wayang, sejumlah wayang dalam kotak yang mewakili beragam karakter.

Lha dalangnya siapa? ya, dalangnya kita lah! mau siapa lagi emangnya :)

Gusti Allah memberikan plot besar cerita hidup untuk setiap kita. Tapi 'kembangan' ceritanya, diserahkan sama kita.

Mau jadi cerita yang mblangsak morat-marit meskipun awal plot sebenarnya penuh dengan kemuliaan. Ya terserah kita.

Mau jadi cerita gilang gemilang meskipun awal plotnya penuh onak derita. ya terserah kita juga.

We create our own story.

Kembali lagi soal balas membalas di atas.

Menurutku, itu cuma cerminan bahwa betapa pada satu titik, kita manusia sungguh merasa kecil dan tidak punya kuasa.

Padahal ya, hidup itu belok kiri kanan lurusnya tidak lebih dari rangkaian aksi dan reaksi.

Rangkaian cerita hidup yang kita kembangkan tidak akan pernah mendadak nggak sinkron. Lha wong kita adalah pihak yang secara aktif berperan dalam pengembangannya kok.

Jadi, sebelum nyeletuk:

"Biar ajalah, biar Tuhan yang ngebales!"

Sebaiknya tanya dulu sama diri sendiri:

"Aku melakukan apa aja ya sebelum ini?"

Anyiiiiiing ... kampretos! :) sok dalem gini gue! hahahahaha





Wednesday, August 31, 2011

Mudik Story Part III: Kawan masa kecil


Dan, bersyukurlah, bersyukurlah, bersyukurlah.

....................................

Lebaran hari pertama di habiskan di rumah simbah Marto Utomo, orangtua Mamah, di Yogya.

Rumah kecil sederhana, dengan halaman belakang maha luas, yang memberiku banyak kenangan masa kecil menyenangkan.

Pernah tau dan makan buah ceplukan ndak? itu lhooo, kayak buah cherry warnanya ijo, rasanya manis masam, tumbuh biasanya di pematang sawah. Aku dong, PERNAH :) #bangga

Pernah tau rasanya memetik genjer untuk dibawa pulang ke rumah dan dimasak rame-rame bareng temen-temen dengan keahlian anak SD, bumbu cemplang cemplung sebatas pengetahuan dan tetep dinikmati walaupun rasanya mbuh ora weruh dengan nasi panas? Aku dong, PERNAH :) #bangga

Pernah tau rasanya naek kerbau di tengah sawah? Aku dong, PERNAH :) #bangga

Pernah tau rasanya mandi dan salto jumpalitan di kali? Aku dong, PERNAH :) #bangga

Di rumah simbah Marto Utomo inilah, setiap liburan sekolah, aku menghabiskan masa kecil dan bertemu dengan sahabat-sahabatku di Yogya.

Perkenalkan sahabat-sahabatku sedari kecil:

Danang, Ferry, Darsih, dan Jarot.

Danang yang paling badung diantara kami. Tukang nyolong jambu. Well, sebenarnya apapun yang bisa dicolong waktu itu hahahaha ...

Ferry yang paling jago main layangan. Bisa bikin benang gelasan sendiri. teknik adu layangannya dulu selalu bikin kita bangga jadi geng kecil yang merajai lapangan bola Kricak Jatimulyo hahahahahah

Darsih ini sebenarnya diragukan. lelaki atau perempuan sebenarnya. Trengginas. Jago lari. Item. Jelek. Rambut pendek. Makanya, dia jagoan kita kalo lagi maen bentengan. Wuih, kalo lari, maling aja mungkin males diadu lari sama dia.

Jarot yang paling kaya. Bajunya paling bagus. Mainannya mahal. Buku ceritanya banyak. Tapi males pake sendal dulu hahahaha. kalo maen sama kami, selalu nyeker. Ih, kaya kok nyeker.

Perjalanan nasib beda-beda. Mereka masih tinggal di Yogyakarta. Kami bertemu janji.

Danang baru saja bercerai. Anaknya tiga. buka bengkel tambal ban motor di dekat rumah simbah. Rumahnya sederhana.

Darsih jadi Polwan. Kemarin datang berkunjung dengan suaminya. Ini lelaki ya, Aku rasa kalo dimarahin Darsih pasti langsung sakit tiga hari hahahahaha.

Ferry kerja jadi montir mobil. Bengkelnya dekat juga dengan rumah simbah. Anaknya dua. Yang satu kena autisme. Sedih mendengarnya.

Jarot buka warung nasi padang. WOng jowo kok yo jualan nasi padang. Mbok ya jual gudeg :) ternyata istrinya emang orang padang. Masih terlihat perlente. Tapi tetep, kakinya jelek hahahahah.

Kami bertukar cerita. Mengenang kembali masa kecil kami yang menyenangkan.

Dalam hati, Aku berulang kali bersyukur. Perjalanan hidupku demikian penuh warna. Rejekiku lancar. Hidupku sepertinya menjadi berkah buat orang-orang yang kusayang.




Dan bahagia itu adalah saat kita bisa memberi

............................

The joy of THR, yes? :)

Setiap pulang kampung saat lebaran. Senyum lebar bukan kepalang.

Pulang membawa uang lebih banyak dari biasanya. Setara dengan satu kali gaji sebulan.

Menyenangkan.

Walaupun habisnya sih cuma dalam hitungan hari.

Tapi, kalau saja kau tahu.

Dengan uang segitu, Aku bisa menciptakan momen-momen yang nilainya tak terbeli dengan uang berapa pun.

Mbak Nah, yang mbantu-mbantu rumah selama ini, menyambut dengan sumringah kedatanganku. Ya iyalah, ada tambahan buat tabungannya beli kambing di kampung.

Lucu ya bentuk investasinya si Mbak Nah ini :)

"Mbak Nah, THRmu aku beliin emas aja ya?"

"Jangan Mas, KES (maksudnya cash hehehe) aja! Mbak Nah mau beli Kambing!"

"Lha, kenapa kambing?"

"Lha kan bisa beranak, kalo udah udah tua bisa dijual lagi buat kurban, gampang pula njualnya di kampung mas"

Senyumnya, menghangatkan hatiku.

Tapi kali pertama Aku menginjakkan kaki di rumah, pulang kampung ini, Mbak Nah menyambutku dengan air muka prihatin.

"Mas Agus, kurusan ya?"

-ahaaa! akhirnya berhasil juga susah payah Aku menyiksa diri bergerak di pusat kebugaran hahaha-

"Iyaaaaa.... lebih ganteng kaaan?"

"Nggak ah mas, kayak ORANG MISKIN!"

Dan, digodanya Aku dengan begitu banyak masakan kesukaanku yang dibuatnya.

"Mas, perkedel kornet nih!"

"Mas, Mbak Nah bikin rendang item, DIGADO AJA MAS! tetep enak kok!"

Usahanya membuatku gendut kembali patut diacungi jempol hahahaha

Polah si Mamah lain dibanding Mbak Nah :)

"Oalaaah Gus, Mamah mah MALES jalan-jalan sekarang ... padahal katanya ada RUMAH MAKAN SHABU-SHABU enak di deket CITRALAN MAL sekarang ... terus di PARAGON MAL, Bu Komari bilang ada yang jual KALUNG-KALUNG MUTIARA gitu bagus-bagus. Tapi Mamah mah MALES lah ke sana ... capek"

Ihhhh, update bener infonya! hahahah

Bahasa KODE abis-abisan ini sih hahahahahahaha

"Ya udah, nanti Mamah NEMENIN Aku aja jalan-jalan makan enak ya"

Dan yang katanya NEMENIN itu berbalik 180 derajat.

Kami menyambangi tempat-tempat yang disebutkan si Mamah tanpa terkecuali.

Dan senyum orangtua yang dibuat senang oleh anaknya, sungguh tak bisa dinilai.

Jadi, kalau ada yang bilang uang nggak bisa bikin bahagia.

Well, mungkin situ ngasihnya ke orang yang nggak tepat kali! Hehehehehe.


Mudik Story Part I: Kenapa pulang?



Saat hatimu terisi dengan jiwa
Maka disitulah rumahmu berada.

...................................

Aku rasa, inilah alasan kenapa harus pulang.
Pulang ke rumah.

Kata Ibuku,"Lelaki itu harus menempa kelelakiannya di rantau!"

Ibarat pedang, rantau adalah tungku panggang dimana sebatang besi mencelos masuk kedalamnya. Disiksa panas dan dipukul sampai menemukan bentuknya.

Rumah, adalah seperti tempayan isi air dingin dimana si besi selepas tempa dan masih panas membara ditabrakkan dengan hawa sejuk yang justru semakin memperjelas bentuk tempaan hingga memperlihatkan kekuatannya.

Untuk kemudian saat waktu menyatakan siap. Masuk lagi ke dalam tungku panggang. disiksa panas dan dipukul lagi.

Begitulah.

Sekarang, Aku pulang.

Mengisi kembali hatiku dengan jiwa.


Sunday, August 21, 2011

Kalo Panda Bicara ...


"Po, kamu ndak bisa merubah masa lalu. Tapi kalo kamu mblangsak ndak maju-maju karena terpaku sama masa lalu, ya bodoh aja!"

Si burung merak,"Aku belajar bahwa kebahagian itu harus direbut!" dan, si burung merak ini hidup dalam kegetiran.

90 menit pembelajaran tentang hidup yang sungguh menyenangkan tapi mengena.

Wajib tonton!


Monday, August 15, 2011

Mengenang

Pemahaman tentang hidup itu memang berjalan banding lurus dengan tambahnya usia dan pengalaman. Dengan catatan, kalau kita cukup peka mengambil sari pelajaran yang coba disampaikan oleh Sang Hidup.

Aku baru sadar bahwa ternyata sepahit apapun yang pernah kita alami. At the end of the day, kita akan mengenangnya sebagai kenangan yang manis. Mengenangnya dengan penuh syukur bahwa kita pernah mengalami hal itu yang mungkin saja membuat kita menjadi pribadi yang lebih tangguh daripada yang kita bayangkan.

Jadi kawan, kalau sekarang sedang gundah...

No worries... Because someday, some near future to go... You will look back... And smile

..................... Tsaaaaaah hahahaha


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Sunday, August 14, 2011

Petarung!!


Ini yang kupahami berdasarkan pengalaman hidup:

Dunia tidak menyisakan ruang buat pecundang. Menyerah haram hukumnya. Mundur sejenak boleh, untuk ancang-ancang maju lebih kencang. Menyerah? big NO NO!

Waktu kecil, aku belajar itu dengan cara spartan.

Begini ceritanya:

Kanak-kanak, tanpa mereka sadari bisa sangat kejam

Dulu, badanku kurus kering. Lebih suka di dalam kelas atau perpustakaan kecil di sekolah, bermain memuaskan imajinasiku dengan cerita yang ada di buku.

Lebih menyenangkan buatku membayangkan Aku ikutan piknik dengan Lima Sekawan sambil menyicip enaknya limun jahe dan roti tumpuk isi lidah asap buatan bibi Anne, ketimbang menghabiskan waktuku main bermain gobak sodor yang -buatku- lebih menyenangkan menjadi penonton saja saat teman-teman memainkannya.

Lucu deh, dulu, supaya lebih mendukung imajinasi saat membaca buku Lima Sekawan, Aku sengaja membacanya di saung tengah sawah dan membayangkan hamparan padi berubah menjadi sabana musim panas dengan pohon oak besar dan dibawahnya kami -saya dan Lima Sekawan tentunya heheheh- kami membuka bekal piknik dan berusaha supaya Timmy anjing lucu pemberani itu tidak mengambil bekal yang kami bawa :)

Atau, sengaja membuat tenda dari selimut lebar di bawah meja makan kecil kami dan membaca buku Trio Detektif dengan senter sambil membayangkan aku ada di sarang rahasia tiga anak cerdas pembongkar misteri itu beraksi.

Buku-buku itu adalah mediaku lepas dari cangkang kecil.

Anyway, kok kebablasan :) heheheh sampai dimana kita tadi?

O iya, kelakuanku ini dulu makin diperparah karena aku dulu sering dipanggil:

Agus banciii... Agus banciii...

-bayangkan manggilnya dengan nada "naah lhoo naaaah lhooo .. naaah lhooo naaah lhooooo" ... itu tuh kayak kalo kita ketauan bikin nangis temen kita heheheh-

Ih siksaan mental yang sungguh tak terperi rasanya.

Sakit.

Padahal kalo dipikir-pikir, Aku dulu salah apa sih sama mereka? mengajak mengobrol pun tidak.

Ini pula yang menyebabkan dulu jaman Aku masih kecil. Teman yang kupunya ndak banyak. Well, the good things is, yang sedikit itu anggaplah sudah terseleksi secara alami hehehehe ... mereka berteman ya karena tulus berteman dan nyaman denganku.

Ini pula yang menyebabkan Aku seringkali pulang ke rumah dengan menangis.

Dan kalau sudah begini, adikku adalah pahlawan berkuda dengan baju zirah yang dikirim hanya untukku.

"Mana yang nakal sama Mas Agus? Mana? biar Aan lempar batu!"

"Ayo mas kita pentung pake kayu!"

Hahahahahaha ....

Begitu polanya. Aku menangis. Adikku adalah penjuru perlindunganku.

Sampai akhirnya pada satu titik, si Mamah mikir,"Wah, nggak bener nih!"

Dan pada satu waktu, saat Aku kembali pulang ke rumah selepas sekolah dengan menangis...

"Kenapa nangis?"

"Aku digangguin Anjari sama temen-temennya Mah!"

"Diantara mereka siapa yang paling menakutkan buatmu?"

"Anjari Mah ... gede badannya... jago berantem!"

"Ok, Anter Mamah ketemu sama Anjari!"

-Asik, waktunya pembalasan untuk Anjari! ha ha! Eat that Anjari-

dari kejauhan:

"Itu yang namanya Anjari?"

"Iya Mah"

"Ok. Sekarang ini yang harus kamu lakukan! Kamu dekati Anjari, pukul dia! berantem! bikin dia kapok mengolok-olok kamu! sekarang! Mamah liat dari kejauhan. Mamah nggak akan bantu. Kamu harus berantem sama mereka! atau.. KAMU NGGAK BOLEH PULANG KE RUMAH!"

-melongo-

Aku berantem dengan Anjari dan kawan-kawannya. Bajuku sobek. bibirku sobek. mataku lebam. rambutku abis terjambak. gigi depanku goyang. Aku sudah tak kuat menangis karena terlalu konsen menahan sakit di badan.

Tapi aku PUAS!

Aku berjuang untuk diriku sendiri.

Aku dipaksa untuk belajar bahwa tidak akan ada yang bisa menolong selain diriku sendiri.

Tentu saja Aku kalah.

Dan mereka waktu itu tetap mengolok-olok Aku.

Tapi setelah kejadian pertempuran tak imbang itu. Aku berani kepala tegak. sambil cari kayu, batu, atau apapun senjata yang bisa dipegang, untuk mengejar mereka yang mengolok-olok hahahaha

Sambil berjalan pulang ke rumah, si Mamah berkata,"Aku ndak membesarkan anak pecundang yang tak berani berjuang untuk dirinya sendiri. Besok, kalau kamu ada masalah, berani hadapi! kalaupun harus kalah setidaknya kamu nggak menyesal! inget itu ya!"

and untill now. I am still and will always be... a FIGHTER!



Saturday, August 13, 2011

Kamu

Membaui aroma tubuhmu yang menentramkan saat kita tidur bersisian dan Aku memelukmu dari belakang.

Melihatmu makan dengan lahap hingga membuatku pun terbit lapar.

Mendengarmu bicara ini itu dengan nada yang selalu saja menghadirkan nyaman.

Bersamamu menikmati setiap detil hidup.

Begitulah cinta datang padaku.

Keajaiban dalam bungkus yang sederhana.

Kamu.


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Wednesday, August 10, 2011

Ngidam

Terjebak dalam pembicaraan antara ibu-ibu hamil

"Lo ngidam apa?"

"Gue kok bawaannya mual kalo nyium sabun"

"Kalo gue bo'.... Nggak pengen sikat gigi! Aneh ya"

...........................

Aku jadi inget celetukan Ibuku dulu

"Jaman aku dulu, tiap pagi harus ke pom bensin nyium bau bensin supaya nggak mual seharian. Dan, harus ke pom bensin! Kalo nyium bensin di rumah nggak ada faedahny...."

Ampun, sungguh maha ajaib.

Untung mukaku nggak kayak pom bensin hahahaha

-postingan nggak penting di tengah kemacetan-


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Passion

Dari poster kecil yang kulihat tadi pagi, begini nukilannya:

"If you don't like your job, quit! Live your dream and wear your passion"

Terima kasih Gusti Allah... Aku sudah dikasih kesempatan menjalani mimpiku....


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Merindu

Saat setiap detil bermakna
Saat setiap detik menghantarkan rasa
Demikian aku merindumu

..................

Ternyata menggombal itu sulit hehehehe


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Saturday, July 30, 2011

Snape. Bahagia mencinta.


Dari pertama kenal dengan cerita mas Harry Potter si penyihir cilik dan kawan-kawannya. Aku sudah jatuh cinta dengan tokoh bernama Severus Snape.

Tokoh ini di awal kemunculannya saja sudah menimbulkan pertanyaan bagiku. Pasti ada sesuatu yang seperjalanannya cerita nanti, tokoh ini akan menghadirkan kedalaman cerita yang luar biasa.

Ternyata benar.

Makin Aku mengikuti semua karakter dalam cerita Harry Potter bertumbuh, makin nyata bahwa Snape punya banyak sisik melik yang justru bagiku pribadi, berhasil mengalahkan persona Harry Potter.

Menurutku, Snape ini nasibnya serupa dengan si buruk rupa 'The Phantom of The Opera', dan tokoh Remi di 'Perahu Kertas'

Cinta sederhana yang memilih kalah.

Cinta sederhana yang memilih untuk tak beresonansi.

Cinta dengan riak tenang yang kalah oleh roman cinta penuh dinamika drama.

Si buruk rupa 'The Phantom of the Opera' merelakan cintanya dikubur dalam sanubari saat Christine Deae memilih Raoul.

Remi 'Perahu Kertas' memilih mematahkan sayap cintanya saat Kugi pergi dengan sang pelukis.

Snape? mengkristalkan cintanya saat Ibunya Harry Potter, Lily Evans -cinta sejatinya sedari kecil, memilih James Potter.

Kalau cinta itu ibarat sepinggan nasi uduk legit lengkap dengan uba rampe lauknya.

Mereka bertiga ini berhasil menghaturkan nasi uduk dengan rasa terdahsyat tapi alpa belajar menghadirkan uba rampe lauknya.

Mereka tak pernah tahu bagaimana membawa empal daging gepuk, usus goreng, paru goreng, yang harusnya datang dalam satu paket.

Cinta sederhana yang walaupun tak hilang makna tapi ternyata hilang daya.

Sedih.

Cinta yang berujung devosi tapi tak punya kuasa untuk memiliki.

Si buruk rupa 'The Phantom of the Opera' membaktikan cintanya pada simfoni yang getir.

Remi memilih menikmati hangatnya rajutan cinta Kugi dan sang pelukis, dari jauh.

Snape?

Ia memilih berjanji menjaga Harry Potter, atas nama cinta yang tak pernah bisa dimiliki.

Ia tak punya pilihan kecuali menumpahkan devosi cintanya untuk Lily, pada satu-satunya keturunan perempuan yang dicintanya.

Tiga karakter pada kisah yang berbeda yang memilih keputusan sama.

Memilih tak berteriak pada dunia, pasrah, dan ikhlas.

Keputusan yang getir tapi juga merupakan pembuktian betapa besar kuasa cinta.

Bisakah kau bayangkan apa yang dirasa oleh Snape saat Ia tahu bahwa pada ujungnya, lelaki bernama Harry Potter ini yang susah mati dijaga dari kejauhan harus dibunuh atas nama takdir yang sudah disuratkan?

Sialan. Aku menangis pedih saat Snape menghembuskan napas terakhir di ujung cerita.

Kalau cinta itu sebuah rasa yang harus dibuktikan. Snape sudah tunjukkan buktinya untukku.


Friday, July 29, 2011

Jadi, beda ya?


Semua media sosial yang berkembang sekarang kurasa semakin membuat dunia ini begitu transparan seperti kertas tisu tipis.

Saya tau apa yang situ tau. Situ tau apa yang sini mau tau. Sini mau tau apa yang situ mau.

Gundah yang kutulis sekarang sebenarnya sudah dipendam beberapa waktu.

Atas nama sok sibuk, Aku baru bisa muntah sekarang.

pantes agak pusing belakangan ini. kayak mual yang ditahan saat harus meeting dengan klien. udah di ujung kerongkongan tapi harus nggak boleh dikeluarkan.

well, anyway.

Ada kubaca di linimasa twitter seorang kawan (yang sudah ku-delete dari jejaring pertemanan), begini:
"Parents, if you tolerate gay and lesbian, beware, next could be your children!"

Maaf kapasitas memori otakku yang hanya sebesar biji kedelai. Setidaknya itu yang kuingat.

Abis kejadiannya udah lama. Tapi kesan dari kalimat itu membekas.

Pelajaran yang kuambil:

Memahami perbedaan pemikiran sebagai dinamika hidup, ok lah, Aku mengerti. Tapi kalau dilambari dengan sebar-sebar fobia dan kebencian seenak jidatnya. Buatku justifikasi memahami perbedaan pemikiran kok ya kebablasan. Banget. Bahkan menurutku satu tindakan yang konyol dan idiot.

Katanya, dalam hidup, yang namanya perbedaan adalah keniscayaan. Ada terbilang, yang tidak pernah berubah dalam kehidupan adalah perubahan itu sendiri. Tapi ternyata bersepakat, memaklumi, dan memahami bahwa perbedaan itu ada sebagai harmoni hidup, bukan hal mudah. termasuk didalamnya soal gay dan lesbian.

Aku sungguh berharap, bahwa ketika kita memaklumi perbedaan itu sebagai sebuah keniscayaan anugerah dari Sang Hidup, semoga saja tidak ada lagi nada pelecehan dalam kalimat, "Jadi situ gay ya?" ... karena percayalah, mau itu gay, lesbian, waria, atau apa kek pilihan hidup mereka... percayalah bahwa keputusan mereka menjalani hidup seperti yang mereka mau itu harus melalui pergumulan yang sungguh berat dan pemikiran yang dalam.

Takut atas satu hal yang nggak kita pahami. Wajar. Tapi kalau kemudian karena hal itu muncul pelecehan. Kemanakah nurani?

Soal dosa. Well, di dunia ini ternyata banyak sekali diantara kita yang terlalu jumawa dengan mengambil porsinya Gusti Allah. Kemanakah landasan welas asih?

Dan yang terakhir,

sekarang kita semakin gampang kok membedakan. Siapa yang berbudaya. Dan siapa yang monyet.


Hehehehehe ....

Sunday, July 10, 2011

Karcis Pesawat atau Bus?


Waktu Aku kecil, Aku suka sekali lagu ini:

Jika Kusudah besar nanti
Kupergi dengan Ibu
Ibu boleh pilih sendiri
Kemana yang dituju
Jika Ibu pilih Yogya, Bandung, dan Semarang
Aku yang beli karcisnya
Karcis kapal terbang

Lagu ini sedemikian melekat di kepala kami berdua -Aku dan Aan adikku. Maklum, buat kami, bepergian dengan pesawat terbang itu cuma terjadi di film yang kami tonton di televisi, dan di dalam mimpi hehehehe ...

Dulu, kami terbiasa naik bus antar kota antar propinsi. Jangan bayangin yang kelas eksekutif. Kaki selonjor lega pake leg rest, selimut, terus ada video diputar sepanjang jalan.

Widiiih boro boro hahahah, jaman dulu belum ada kali gak sih?

Kami dulu naek kelas kambing. Kelas ekonomi punya lah! eh, melenceng dikit, kenapa istilahnya kelas kambing ya? kasian kambing. buat menunjuk hidung orang yang dikorbankan, kambing hitam. Kelas kasta terendah, kelas kambing. Siapa yang pertama kali menggunakan istilah ini? kenapa nggak kebo item, kelas kebo?

Anywaaaay, yuk balik ke cerita awal :)

Setiap libur panjang sekolah. sebagai ritual. Dan dalam rangka mendukung Bapak dan Mamah supaya bisa berasa pacaran lagi, nggak ngurusin kami berdua yang badung-badung ini. Aku dan adikku selalu dilempar ke Yogya.

Ada tiga nama Bus kelas ekonomi ternama kala itu yang menjadi langganan kami. Limas, Garuda, dan Nan Tungga.

Pemilihannya bukan tanpa alasan. tiga nama itu diurut dari yang paling mahal sampe yang termurah. Yang termurah tentu saja Nan Tungga. Entah, masih ada nggak sih sekarang? Setiap menjelang keberangkatan ke Yogya, harap-harap cemas kami menunggu Bapak pulang dan berdoa, semoga saja bukan karcis bus Nan Tungga yang dibeli.

"Pak, beli karcis bus apa?"

"Nan Tungga"

Yah, lemes dah.

Bukan apa-apa. bepergian dengan bus itu serasa menempuh perjalanan Bogor-Yogya, pake Metromini! hahahaha

Yah, udah kebayang kan?

Limas dan Garuda sedikit menyisakan ruang buat kaki Bapak dan Mamah untuk sedikit selonjor. dengan pantat yang harus disesuaikan selang seling kalau mau enak duduk. Bapak pantat maju, Aku mundur, Mamah maju, Adik mundur. errrrr... kok berkesan mesum ya? ahahahaha ya gitu deh susah mendeskripsikan dengan kata-kata. Pokoknya kalau pernah naik taksi yang satu taksi diisi sama orang sekampung saat jeda makan siang rame-rame anak kantor, ya kayak gitu deh.

Perjalanannya menyimpan kenangan.

Upil yang menghitam karena jelaga debu seperjalanan. Hahahah, Aku dan Aan dulu suka taruhan siapa yang upilnya paling item sesampainya kami di Yogya.

Kalo lagi apes, kami duduk di lajur bangku yang atasnya bocor saat hujan. Lengkaplah atribut penyebab kami semua ndak bisa tidur sepanjang jalan. Kalo udah begini, kami mukanya serasa mulut semua karena manyun hahahahah. Nasib, ya udah lah terima aja.

Menjelang tengah malam, bau minyak angin cap kapak menyeruak. Bercampur bau keringet karena.. ya gitu deh, nggak ada AC. Si Mamah suka berusaha menghibur dengan melempar tebakan garing, "Ayooo bangku mana yang pake minyak angin?" sigh .... maaf Mah, tebakan ditanggapi dingin hahahah.

Kalau uang beneran cekak. Di perhentian untuk makan malam, biasanya di daerah Sukamandi atau Indramayu, Bapak cuma mbeli 4 butir telur rebus yang masih hangat dan roti kampung. Itu lho, roti ala-ala Tan Ek Tjoan yang ndak pake mentega, jadi agak keras dan rada hambar rasanya. Atau dari rumah, Mamah sengaja bawa nasi rantang. makan di dalam bus, soalnya mau numpang duduk di restoran kok ya agak rikuh.

Mengabaikan itu semua, kami ndak pernah ngeluh. Lha wong mbayangin liburan ke Yogya itu mungkin rasanya seperti anak sekarang yang dibilang mau diajak jalan-jalan ke disneyland kali ya. Jadi ya menyenangkan.

Dan juga ternyata indah dikenang.

Kembali lagi ke lagu yang tadi:

Jika Ibu pilih Yogya, Bandung, dan Semarang
Aku yang beli karcisnya
Karcis kapal terbang

Aku dulu pernah bilang, "Mah, pokoknya kalo Agus dan Aan nanti udah gede, Mamah kemana-mana Aku beliin karcis pesawat ya. Ndak usah naek bus lagi"

Kalo inget celetukan itu. Doaku terkabul :)

Eh, ini sebenarnya nyeritain tentang pesawat atau bus kota sih?

Ah sudahlah :)




Thursday, June 30, 2011

Hidup ala Kue Lapis Legit


Mamahku pernah bilang, hidup itu kayak mbikin kue.

Dalam hal ini, kue lapis legit.

Harus niat.

Bahan dasarnya sabar.

Mulai dari memisahkan kuning telur dari putihnya.

Mengaduk adonan tak terburu-buru dan mesti tepat penghitungan waktu aduknya supaya mengembang sempurna.

Memastikan panggang atas dan bawah sama panasnya supaya matang sempurna.

Dan yang paling menguji sabar adalah, menuangkan adonan lapis demi lapis.

Tipis-tipis. lapis demi lapis. Harus ditunggu dengan sabar. Kalau perlu dibela-belain keringetan mlototin panggangan selama lebih dari satu jam.

Supaya nanti diujungnya, kita mendapatkan manis legitnya.

Mamahku bilang, Hidup itu sederhana dan gampang.

Kalau sabar.

Saturday, June 25, 2011

Bicara Cinta Bicara Rasa

Dicintai untuk hal yang nyata.

Dicintai untuk memaklumi kekurangan.

Dicintai untuk memaafkan.

Demikianlah dirimu ada untukku.

Berterima kasih untuk pembicaraan kecil pagi hari saat mataku dicubit matahari pagi.

Berterima kasih untuk pelukan yang meneduhkan saat Engkau ada di sisi.

Berterima kasih untuk senyuman yang selalu berhasil menenangkan gundah.

Berterima kasih karena karena Engkau berhasil membuat detil hidupku menjadi sumber bahagia.

Demikianlah nampaknya Aku mencintaimu.

......................................


Ah mati! nggak bisa nulis sok romantis begini ternyata. picisaaaan! :))


Sunday, June 19, 2011

Bapak. Yang Terucap dan Yang Baru Terungkap

Yang dibilang sama Bapak,"Anak lelaki kok nulis puisi cengeng-cengeng begini sih... mbok sana maen sama Galih, Danang!"

Yang tak diungkapnya waktu itu:
Bapak membawa puisi bernilai 9 dari Ibu Guru ke kantor. ditaruhnya di tas. dalam plastik file supaya ndak lecek.

Yang dibilang sama Bapak,"Norak banget bajunya. Kamu mau ikut lomba nyanyi pake baju begitu? Bapak nggak nonton ah!"

Yang tak diungkapnya waktu itu:
Foto Aku sedang memegang piala di atas panggung dengan baju yang dibilangnya norak, ada di laci kantornya. Lama akhirnya kutahu, Bapak ngasih Mamah uang ekstra untuk mbeli payet buat dijahit di jaket kostum nyanyiku. Ya, jaket yang dibilangnya norak.

Yang dibilang sama Bapak,"Aku tuh ndak pernah paham kamu kerja apa di Jakarta? mbikin iklan? emang tiap hari ada yang minta dibikinin iklan apa? biro iklan? kerjaanmu aneh!"

Yang tak dikungkapnya waktu itu:
Setiap kumpul arisan Bapak-bapak, Mamah mencuri dengar,"Anak saya kreatif banget lho. Dia kerja di TV, mbikin iklan, jago nulis"

Yang dibilang sama Bapak,"Bertahun-tahun kerja di Jakarta kok nggak keliatan apa kek... mbeli barang mewah kek! gajimu cukup nggak sih? kamu digaji berapa sih?"

Yang tak diungkapnya waktu itu:
Setiap saat Mamah didonder,"Apa Agus dicariin kerjaan di Semarang aja ya? cukup nggak uangnya disana? Kamu bilang ya kalo Agus ngeluh nggak punya uang, nanti kamu aja yang transfer ke dia"

Yang dibilang sama Bapak,"Cengeng amat sih jadi laki-laki!"

Yang tak diungkapnya waktu itu:
Setiap saat Mamah didonder pertanyaan,"Itu Agus kenapa? abis putus sama pacar? dimarahin sama bossnya ya? kamu paketin makanan gih! dia kan suka bandeng asap tuh... paketin lah sekilo buat makan di kost"


Untuk yang sudah terbilang dan yang baru saja terungkap setelah beberapa waktu.

Bapak, Agus sayang sekali sama Bapak.

Happy Fathers Day ya Pak

Menjadi Tua Tidak Menyenangkan


Ini transkip mimpi yang aneh. Jadi ya, Aku ngimpi lagi ngopi-ngopi dengan orang yang tengil dan nyebelin gitu deh. Tapi Aku lupa orangnya kayak apa. Ya, kayak mimpi basah kan? suka nggak keliatan mukanya tapi tau-tau udah cret basah aja ahahahaha ... udah ah, berikut transkripsinya:

"Jadi dewasa itu tidak menyenangkan. Kita punya kecenderungan untuk membohongi diri sendiri demi membahagiakan orang lain"

"Sekarang gini deh, pilih mana? bahagia tapi sendirian atau dengan sadar mengorbankan kebahagian diri sendiri supaya orang-orang yang kita sayangi bahagia?"

"Ah, pilihan nggak fair!"

"Lha, Hidup itu emang nggak pernah akan adil, equilibrium itu ndak akan pernah ada. selalu akan ada yang berlebih dan selalu akan ada yang merasa kurang... eh iya, jadi milih yang mana? bahagia tapi sendirian atau yang ... ya gitu deh tadi?"

"Aku bertanggung jawab pada hidupku. Aku selalu diajar bahwa bahagia itu lambaran dasarnya adalah jujur pada diriku sendiri. Membohongi diri sendiri adalah perbuatan paling nista, kata Ibuku. Jadi, aku akan membiarkan kejujuran sebagai kompas penunjuk arah menuju kebahagiaan"

"Lha, kalau pilihanmu membuat sedih orang-orang yang kau cintai? pegimana?"

"Boleh Aku menghela napas panjang dulu sebelum menjawab itu? Ok, sebesar aku mencintai mereka dengan sepenuh hati, Aku tidak bertanggung jawab terhadap kebahagiaan mereka. Bukankah cinta harusnya membebaskan? bukankah cinta harusnya tak membelenggu dan merelakan yang kita cintai menjadi diri sendiri, bebas dari penghakiman? Aku layak dicintai untuk hal-hal yang nyata, bukan dicintai atas nama atribut ideal"

"Kamu egois dong kalo gitu"

"Egois? lha... memenjara sebuah pribadi dengan mengatasnamakan cinta kasih, itu baru egois namanya"

"Pembicaraan ini tidak menyenangkan"

"Iya"

"Menurutmu kenapa jadi tidak menyenangkan"

"Karena kamu sudah berhasil membuatku meragu dan berpikir ulang hal-hal yang pernah kuputuskan atas dasar jujur terhadap diri sendiri, atas dasar menciptakan kebahagiaan versiku sendiri. Aku meragu. Sebenarnya Aku ini sudah berlaku benar ... atau malah berlaku konyol"

"Ganti topik yuk!"

"Yuk"


Monday, May 30, 2011

Jabang Tetuko. Ayo, Kenali Akarmu.




Aku rasa, setiap Ibu sejatinya adalah pendongeng yang hebat.

Aku selalu yakin, cerita bila di amplifikasi cinta akan menjadi luar biasa.

Sewaktu kecil, setiap malam, sebelum tidur, Ibu selalu bercerita.

Apa saja.

Cinta dua orang bernama Rama Shinta.

keluhuran hati seorang bernama Wisanggeni.

Hati yang bersih dari sosok raksasa adik dari Rahwana bernama Kumbakarna.

Apa saja.

Ceritanya bisa jadi melenceng dari pakem cerita utama. tapi imajinasi yang dilambari rasa kasih dan cinta. Tetaplah, sebuah cerita yang bermakna.

Aku selalu terkagum-kagum dengan ceritanya.

Nilai hidup meresap tak terasa.

Cerita Ibuku dulu, ternyata menjadi pondasi hidup.

Kulanjutkan kilas baliknya ya.

Jaman Aku masih SD, setiap liburan panjang, Aku selalu dilempar ke rumah Eyang Marto Utomo di Yogyakarta.

Masa-masa Aku menikmati libur panjang di Yogya menjadi lembar hidup yang sungguh berkesan.

Aku menikmati masa kecil yang penuh.

Setiap Rabu dan Jumat kalau Aku tak salah mengingat. Kami selalu berkumpul di ruang tengah di depan TV hitam putih merek Blaupunkt

TVRI Yogya memutar wayang orang.

Eyang Putri selalu menggoreng grabyas. Makanan terbuat dari tepung terigu, dicampur sedikit tetelan, digoreng semacam bakwan. dikawinkan dengan teh panas manis.

Aku selalu menikmati cerita wayang orang yang disajikan. Padahal ndak ngerti sama sekali bahasanya.

Mau bertanya pada Eyang Putri, aku kok rasanya sungkan sangking melihat Eyang Putri dan Eyang kakung demikian terhanyut dengan cerita.

Ya sudah, Aku mereka-reka saja.

"Oooo yang ini nih yang jahat!"

"Oooo ini berkhianat nih!"

"Waaah sakti sekali! bisa terbang!"

Imajinasi anak kecilku dipuaskan.

Aku selalu menunggu lakon wayang orang setiap hari yang kusebutkan tadi, meskipun Aku sama sekali ndak ngerti bahasanya.

Buatku, sungguh luar biasa!

Kembali ke kekinian.

Sekarang, setiap pulang kampung ke Semarang. Aku selalu siap sedia uang cadangan untuk membelikan mainan buat keponakanku tersayang Raihan.

Ben 10.

Thomas the Train.

Teletubbies.

Jauh di dalam hati. Aku sebenarnya menyimpan protes.

Karakter-karakter ini mengajarkan apa sih sama anak-anak sekarang?

Aku secara pribadi merindu karakter yang penuh kedalaman nilai hidup tapi tetap tampil dalam jiwa kanak-kanak yang mempelajari semuanya lewat bermain dan keleluasaan berimajinasi.

Sejauh ini, Aku merasa karakter Upin Ipin mewakili aspirasi itu.

Nakalnya anak-anak.

Penuh nilai membumi.

Walaupun bikinan negeri sebelah.

Yak, sekali lagi melebar tulisanku ini sodara-sodara heheheheh...

Akhir pekan kemarin ada pertunjukkan ini:

Jabang Tetuko, judulnya.

Tentang lahirnya Gatotkaca.

Haduh, aku seperti didongengi oleh Ibuku.

Cerita yang sanggup membuatku terkagum-kagum.

Aku ceritakan untukmu ya.

Jabang Tetukalahir dengan membawa keajaiban. Padanya, takdir beragam kesaktian mendekam. Sakti dari lahir! weleh weleh weleh! :)

Kelahirannya ini bertepatan dengan kemelut yang melanda kahyangan Jonggringsaloka.

Edan. Kalau mitologi Yunani punya Olympus tempatnya dewa-dewa. Lha, Jonggringsaloka ini sama hakikatnya.

Tempat para dewa dan bidadari tinggal mendapat serangan prabu Kala Pracona dari negara Ngembatputihan. Karena keinginan untuk menikahi seorang bidadari dari kahyangan Jonggringsaloka tidak dituruti, akhirnya raja dari para raksasa ini mengobrak-abrik kediaman para dewa. Seluruh kesatria kahyangan telah dikerahkan untuk menandingi kesaktian Kala Pracona, tetapi tak satupun yang berhasil.

Hal ini membuat para dewa panik dan mengutus Batara Narada mencari ksatria yang bisa dijadikan tameng untuk menjadi jagonya para Dewa. Setelah semua satria sakti dari bumi tidak bisa menandingi Kala Pracona, Batara Narada menemukan Jabang Tetuka yang masih berusia 16 hari. Meski masih bayi kesaktian putra Bima bisa dirasakan oleh betara Narada. Dan Jabang Tetuka dibawa naik Kahyangan untuk melawan raja raksasa pembuat onar.

Para dewa menggodok Jabang tetuko di dalam kawah Candradimuka. Berbagai pusaka dan senjata sakti para dewa turut dilebur dalam kawah yang bergejolak itu. Dalam sekejap bayi yang berwujud separuh raksasa berubah menjadi kesatria yang gagah dan rupawan. Berbagai leburan pusaka dan panasnya kawah telah merubah Jabang Tetuko menjadi semakin sakti. Karena fisiknya telah berubah, para dewa memberikan nama baru yaitu Gatotkaca. Yang memiliki arti berkumpulnya kesentosaan. Gatotkaca disebut juga 'satriyo babaran kahyangan' atau ksatria lahir dari kahyangan.

Tuh. Seru!

Mirwan Suwarso, sang sutradara mencoba membungkus cerita ini dalam pertunjukkan yang penuh kekinian dengan memadukan wayang orang, wayang kulit dan sinematografi modern. Usaha yang harus dipuji dan ndak usah lah kita buang energi dengan nyinyir mencela kekurangan di sana sini, kalau pun memang ada.

Mirwan menjaga pakem tradisional dengan menggandeng Ki Dalang Sambowo Agung dan Wayang Orang Bharata untuk kemudian berkawin dengan musikalitas seorang Deane Ogden, komposer music scoring untuk The Surrogates, Tron dan The Hitlist.

Stunt Coordinator, Benjamin Rowe, yang pernah mendapuk film macam Fast and Furious, dan Wolverine juga diajak serta.

Hasilnya?

Membanggakan.

Seperti yang Aku bilang di awal. Karya yang dilambari rasa cinta dan niat yang baik akan selalu menyentuh.

Aku bisa membaca kegundahan seorang Mirwan Suwarso sama seperti kegundahanku akan bocah-bocah jaman sekarang yang ndak ajeg pada akar budaya.

Pada tataran ide, Aku rasa kita harus hormat pada apapun usaha anak negeri untuk menghidupkan dan hidup dari akar budayanya sendiri.

Pada tataran pelaksanaan, well... Ada sih beberapa dari kawan-kawanku di media yang mengkritik bahwa panitia kurang tanggap, ndak rapih menggawangi mereka yang katanya pembawa berita untuk memahami esensi dari pergelaran ini.

Tapi apapun, Aku sih merasa harusnya niat mulia tidak boleh semena-mena dikuliti cacatnya oleh hal-hal yang tidak menyentuh esensi.

Disinilah kepekaan menangkap inti sebuah gagasan luhur diperlukan.

Seandainya Aku punya anak sekarang. Ketimbang mengajak anakku nonton orang berpakaian tokoh kartun meluncur ke sana sini pake sepatu ski es dan nyanyi-nyanyi ndak penting. Aku akan seribu kali yakin untuk mengajak anakku liat pertunjukkan macam begini.

Mengenal akar.

Mengenal jati diri.

Mengenal esensi nilai hidup.

Baik buruk.

Kegagahan.

Kejujuran.

Kerja keras.

Begitu deh :)

Silahkan dinikmati beberapa dokumentasi berikut ini:



Gambar dipinjam dari Veronica Kandi

Sunday, May 22, 2011

Memilih Tidak Sembunyi


Hi Janji yang tertunda itu akan kubalas dengan cerita...

Kamu boleh setuju, tidak pun boleh-boleh saja. esensi pertemanan kita kan tidak pamrih tapi membiarkan dua orang dengan pribadi yang berbeda tampil apa adanya dan bebas dari penghakiman :)

Dari kecil, Aku selalu diajar Ibuku bahwa Gusti Allah itu penuh kasih.

Lepas dari ritual keagamaan, Ibuku punya caranya sendiri untuk mengajarku berbicara padaNYA.

Mungkin engkau menyebutnya berdoa. Tapi sedari kecil aku ndak pernah tuh disuruh berdoa sama Ibu.

"Ayo, bicara padaNYA... karena nanti, kalau kau sudah besar, kamu pasti akan dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana bahkan kepadaku, Ibumu ini, engkau tak bisa mengadu. Engkau tak bisa meminta hatimu tentram dengan bicara padaku. Bicaralah padaNYA... tapi jangan hanya saat engkau gundah. Kabarkan padanya berita baik. Supaya saat engkau sedih dan butuh dihibur, IA akan dengan suka hati menerimamu dan mendengar cerita duka"

Kata Ibuku, Tuhan itu sumbernya kasih.

Apapun caranya Aku bicara denganNYA, IA akan selalu bisa mendengar. Mendengar apa yang ada di benak, bahkan pada relung yang paling dalam.

Aku ndak pernah diajar Ibu tentang firman Tuhan.

Tapi Ibu selalu berkata, bahwa firman Tuhan hidup dalam benakmu.

Maka dari itu, dengarkan benakmu dengan sungguh.

Karena di dalamnya Tuhan sudah menyuntikkan firman.

Ibarat komputer, firman Tuhan seperti software yang niscaya ada didalamnya.

Cara yang aneh belajar tentang Tuhan boleh lah kau bilang begitu.

Tapi, buatku pribadi, apa yang diajarkan oleh Ibuku ini, sukses mengantarkanku selamat melewati naik dan turunnya hidup.

Karena Aku merasa IA selalu dekat.

Karena Aku merasa IA tak pernah melupakan.

Karena Aku merasa IA menghiburku selalu saat duka.

Sedikit lepas dari alur cerita, mungkin inilah yang membuatku tidak pernah percaya konsep neraka.

Kalau neraka itu seperti surga, sebuah muara keabadian. Lalu untuk apa menghukum seseorang terus-menerus dan tak memberi kesempatan untuk memperbaiki?

Bisakah penghuni neraka naik kelas pindah ke surga?

Apa maksudNYA menciptakan siksa yang abadi?

Kalau surga itu tempat penuh kebahagian yang tak berkesudahan, apakah justru tidak menimbulkan kebosanan?

esensi dari penghukuman adalah supaya kita belajar? lalu, kalau dihukum dalam keabadian, pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Penghukuman tak berujung bukankah bertentangan dengan kodrat Tuhan yang katanya penuh kasih ya?

Ah, sudahlah, dalam ranah agama yang kamu anut dan dalami dengan sungguh-sungguh sampai belajar ke Amerika sana, pemikiranku tentang ini sah saja engkau cap dengan kata k-e-b-l-i-n-g-e-r :)

Tapi ada satu hal yang ingin Aku sampaikan berkenaan dengan ucapanmu kemarin.

Dari kecil, aku selalu diajarkan untuk selalu jujur. jujur pada diriku sendiri. belajar untuk selalu peka mendengarkan benak. mendengarkan nurani.

keputusan yang diambil, dijalankan dengan hati penuh. Dengan sepenuhnya sadar mengenai konsekuensi apa yang akan terjadi dan dijalani berkenaan dengan keputusan yang ada.

Pergumulan bahwa sejatinya Aku ndak pernah secara seksual tertarik dengan perempuan pun tidak mudah.

Tidak ada kata m-u-d-a-h untuk keputusan menerima kondisi sedemikian.

Sehubungan dengan ini, Aku dari kecil selalu merasa domba hitam yang berjalan pada sisi lain sebuah pagar nyaman dimana didalamnya domba-domba putih berkumpul dengan nyaman dan terkadang mereka berbarengan menatapku dengan pandangan penuh makna.

Aku aneh dimata mereka. hell yeah, Aku pun menganggap diriku juga aneh kok. anomali.

Tapi, bisa apa Aku?

Aku bisa saja sih dengan semir mengubah rambut dan buluku menjadi putih. Sama seperti mereka.

Dan itu berarti, aku harus menyemir rambutku seumur hidup.

Lebih dari itu, Aku harus hapal buku "bagaimana cara menjadi domba putih" seumur hidupku. Dan mengamalkan isinya seumur hidup.

Bisa saja sih. Toh, katanya, kalau sebuah kesemuan dijalankan dan dipercaya sebagai sebuah kebenaran dalam jangka yang lama, maka kita akan percaya bahwa itu adalah benar nyata adanya. bukan begitu?

Tapi, apakah itu yang mau Aku lakukan seumur hidup?

Hidup menawarkan banyak pilihan. Dan kita, ndak pernah punya hak untuk menghakimi.

Jadi, pada ujungnya. Aku memutuskan untuk jujur saja.

Menerima dan menyamankan diri dengan kondisi apapun yang ada.

Nggak mudah. modalnya satu. jujur aja.

Aku akan menganggap ini sebagai salah satu diantara banyak keputusan dalam hidup yang harus dijalankan dengan nurani yang jernih, penuh tanggung jawab.

Jadi gay. jadi manusia. jadi orang baik.

sesederhana itu.

Dengan konsekuensi yang sungguh jauh dari sederhana.

Aku bicara pada Tuhan, "Aku akan menjalankan hidupku dengan penuh kasih dan nurani. Kalau satu keputusan hidupku ini memang harus diubah. Maka Aku akan membiarkan rencana pengubahan itu berjalan menurutMU. Kalau dogma agama diberlakukan untukku. Ndak usah menunggu lama. sebentar lagi, ratusan orang akan menghampiri rumahku dan merajam dengan batu sampai aku mati pelan-pelan kok. Tapi Aku bicara padaMU pada tataran religi dimana tak ada pihak ketiga diantara Aku dan ENGKAU... Aku bicara padamu, ini keputusanku, aku jalani, kalau menurut salah, ENGKAU pasti tak pendek akal. Kutunggu rencanamu mengubah yang KAU anggap keliru"

Ibu kuajak bicara masalah ini.

Berat.

Berat sangat.

Tapi ini konsekuensi dari sebuah keputusan bahwa Aku tak akan sembunyi-sembunyi menjalani hidup. Dan pihak-pihak yang harus kali pertama mengetahui keputusanku, tentu saja beliau. Apa saja bisa terjadi. Dan Aku harus siap.

Jangan ditanya rasanya kayak apa.

Seperti membawa pisau ditangan dan disuruh menusukkan pisau itu ke jantung orang yang paling engkau kasihi, pelan-pelan.

Tapi keputusan harus dijalankan.

Konsekuensi harus diterima.

Kulihat gundah. Kulihat sedih.

Aku bersiap terima amarah.

Tapi Aku tak melihat amarah.

Aku cuma melihat kesedihan.

dan itu. Berat.

Dari mulut Ibuku cuma terucap, "Aku sedih. tapi Engkau telah menjadi lelaki dewasa. Dan melihatmu menjadi lelaki dewasa yang sadar dengan pilihan-pilihan hidupmu adalah doaku. Baiklah, hanya satu pintaku. Jangan suruh Aku berhenti berdoa dan meminta pada Tuhan. Sebab, jika ini harus diubah dan tidak ada manusia yang mampu mengubah, Kuharap Tuhan bisa mengubahmu"

So, here I am...

lelaki yang berusaha menjalani hidupnya. Itu saja.

Menyambung dengan ucapanmu kemarin saat kita ngopi-ngopi.

Boleh-boleh saja mendoakan. Engkau pasti akan mendoakan yang baik-baik. hal yang MENURUTMU baik.

Bagus. itulah guna seorang teman bukan?

Tapi jangan pernah berusaha mengubah hal yang diputuskan tak ingin diubah.

Dampingi mereka, jadilah teman dalam suka dan duka.

Siapa tau, kalau memang Gusti Allah menghendaki rencana hidup mereka diubahkan. IA meminjam tanganmu.

Tapi sekali lagi. Biarkanlah mengalir. Jangan menghakimi. Jangan menggurui. Jangan sok tau mana yang baik untuk mereka.

Soal kegalauan hatimu, sehubungan dengan pilihan-pilihan hidupmu.

Saranku cuma satu.

Jangan mengambil porsinya Tuhan dalam merancang hidup.

Setiap saat, Aku yakin, kita akan selalu bertemu dengan simpang jalan. Dan harus memilih.

Jujurlah. Mantapkan hati sesudahnya. Dan Aku yakin, semuanya akan baik-baik saja :)

Demikian ceritaku.

Semoga pilihan yang Engkau akan ambil kali ini berlandaskan kejujuran.

Karena menurutku, kita tak pernah bisa membahagiakan semua orang. Bahkan orangtua kita.

Tapi kalau memang pilihan itu diambil atas dasar ingin membahagiakan orangtuamu... yang sungguh engkau kasihi ... dengan -mungkin- konsekuensi mengorbankan kebahagianmu sendiri. Aku akan mendukungmu dan berdoa mengharapkan yang baik untukmu. Toh, itu menurutku sesuatu yang luhur.

selamat merenung, memilih, dan memutuskan.