Thursday, September 11, 2014

Shaken not stirred, please.

Dari kecil bahkan sampai sekarang, saya selalu dibuat kagum dengan tukang gulali. Dari lelehan gula cair lengket panas, jemarinya menari, memilin, mencampur adonan panas warna warni, dan keajaiban ditunjukkan. Saya menikmati legitnya gulali –yang rasanya, yaaah sebegitu saja- dengan bentuk sikat gigi, burung perkutut, kapal terbang, atau bunga. Terhibur mata dan lidah. Saya dihibur dengan RASA.

Sebelum menikmati teppanyaki di restoran favorit, saya disuguhi pertunjukkan visual yang semakin membuat terbit rasa lapar. Wajan datar, daging, sayur, dan tangan trampil sang koki menari di depan saya. Hati senang, lapar datang kemudian pergi. Saya di hibur dengan RASA.

Dan sekarang, bartender.

Imajinya mudah ditampilkan. Tapi mengupas sisik meliknya kok ya ternyata nggak gampang.
Mungkin, saya seperti siapapun yang pergi ke tempat-tempat di mana bartender ada dan di perlukan, memperhatikan mereka ini selintas. Kemudian asyik hahaha hihihi sana sini dengan karib. Saya tidak terlalu peduli kalau minuman yang disajikan rasanya seperti obat batuk cair. Apa peduli saya, toh minuman ini cuma sebagai pelicin sosialiasi. Bartender ada karena, well, siapa lagi yang tugasnya menyajikan minuman untuk kita? Sudah. Berhenti sampai di situ saja.

Bartender yang mumpuni punya karakter, pengetahuan, akurasi racikan, kecepatan, layanan dan kreatifitas.

Anggaplah sang bartender adalah petarung, meja panjang bar ladang pertempuran. Padanya, Ia harus melengkapi diri dengan skill meramu paduan mana yang cocok dengan apa. Bagaimana Ia harus paham sepenuhnya dulu tentang karakter setiap “distilled beverage” seperti gin, vodka, whiskey, tequila atau rum sebelum dikawinkan dengan bahan lain dan tersaji di hadapan kita menjadi Cosmopolitan yang digilai Carrie Bradshaw di “Sex and the City”, Bloody Aztec dengan paduan vodka dan creme de cacao yang tepat, Appletini yang memberikan sensasi antara perkawinan vodka dan apple liquer yang diikat dengan cointreau, atau betapa mantapnya campuran gin dan lemon juice dalam John Collins.

Paduan setiap minuman harus tepat. Resep boleh sama, tapi “taste” setiap bartender lah yang akhirnya menentukan.

Ia menjadi unsur pendukung utama dalam menciptakan nuansa yang menghibur. Tak sekedar menyajikan akrobat botol dan gelas pencampur, kreatifitas penyajian bermain pula. Mampu menciptakan pembicaraan yang menyenangkan saat tamu datang sendirian, membuat yang datang merasa mereka ada di tempat yang tepat, ‘feels connected’, dan di ujungnya memutuskan untuk datang kembali.

Inilah esensi bartender sesungguhnya. Esensi yang secara sederhana analoginya seperti saya terkagum-kagum dengan koki teppanyaki dan tukang gulali.

Saat bertemu dengan bartender seperti ini. Saya jamin, menjadi mabuk, jauh dari pikiran. Sensasi untuk menikmati seni,rasa, selera, teknik penyajian kelas inggil dalam segelas cocktails serta mungkin –kalau beruntung- pembicaraan yang menyenangkan, menjadi agenda utama.

Sungguh sayang, dengan begitu banyak tempat hiburan dengan bar minuman di dalamnya, dengan perkembangan industri ‘horeca’ (Hotel, restaurant and cafe) yang sedemikian pesat. Bartender dengan kriteria seperti itu jarang ditemui. Jangan salahkan, kalau kemudian bartender kemudian dilihat sambil lalu. Yang penting, ada yang menyajikan minuman. Sudah, itu saja.

Kompetensi harus dibangun, baru apreasiasi akan muncul.


Jadi, iyakan saja pepatah lama “tak kenal maka tak sayang”. Kenali dulu, dan kemudian Anda bisa yakin berkata, “Shaken, not stirred please!”