Sunday, October 30, 2011
Merona Karena Rhoma
Jaman Aku masih kelas 3 SD, karena kondisi keuangan kami saat itu, kami mesti merelakan rumah yang kami miliki untuk dikontrakkan sebagai tambahan penghasilan.
Kami, suka nggak suka mesti suka harus pindah ke sebuah rumah petak kecil kontrakan di pinggiran kota Bogor.
Kampung Kramat, nama desanya.
Ngenes banget hati ini rasanya, dulu.
Kontrakan yang kami tempati, sebuah ruang yang disekat menjadi ruang tamu yang berfungsi sebagai ruang nonton TV dan ruang belajar, satu buah kamar tempat Aku, Aan adikku, dan Mamah beristirahat, dan satu dapur kecil.
Ada 4 rumah petak berjejer di situ. Rumahku yang paling ujung sebelah kiri. berurutan, berikut adalah tetangga kami disana:
Rumah petak no.2:
Pak Sodikun. Pemilik gerobak gorengan. Ini perasaanku saja, tapi dulu, menurutku pisang molen jualannya adalah pisang molen terenak di Bogor hehehehe. Ibu Sodikun dulu di kampungnya mungkin pernah juara baca Al-Quran. Kalau waktu Isya tiba, kami lamat-lamat mendengarkan Ibu Sodikun membaca ayat-ayat Quran dengan indah. Junaedi, yang biasa kupanggil Edi, seumur denganku. Jago main petasan bumbung bambu kalo puasa tiba, nakal luar biasa, tapi teman berenang di kali yang menyenangkan. Dulu, aku sering terkagum-kagum dengan kemampuannya salto dari batang kelapa yang miring menjulur ke kali. Seperti liat atlet loncat indah di acara Arena ke Arena dulu di TVRI hehehe.
Rumah petak no.3:
Mbak Emilia. Kerjanya sih kata Mamahku dulu adalah Lighting Girl di klub malam. Aku ndak tau apa maksudnya profesi bernama Lighting Girl ini. Tapi yang Aku tau, Mbak Emilia selalu berangkat saat kami mulai beranjak tidur dan pulang saat kami mau berangkat sekolah di pagi hari. Pernah satu kali, Mbak Emi ini mabuk luar biasa. Pintu kami digedor dengan marah karena kuncinya tak bisa membuka pintu. Ya iyalah, lha wong salah rumah ahahahha. Beberapa bulan setelah kami tinggal di sana, Mbak Emi hamil di luar nikah. Mamahku yang kelabakan mencari dukun beranak saat Ia melahirkan. Satu bulan setelah melahirkan, radio tape satu-satunya milik kami dicurinya. Mbak Emi hilang sesudah itu.
Rumah petak no.4:
Mas Budi. Dulu sih ngakunya beliau ini wartawan. Di kamarnya, berserakan banyak tabloid Monitor, Majalah Senang, Jakarta Jakarta, dan majalah Ria Film. Aku paling suka membaca majalah Ria Film di rumahnya. Dari majalah itu, aku tau tentang Lin Ching Shia, Andy Lau, dan film-film mandarin yang bisa kulihat di video rumah Pak Haji Ali dengan membayar 50 rupiah hehehe ... betul, di kampung itu, kita bisa nonton video selayaknya pergi ke bioskop dengan membayar.
Di depan rumah petak kami, tinggallah keluarga Pak Ali. Pak Ali ini supir angkot nomor 08 jurusan Pasar Anyar - Citeureup. Istrinya setiap pagi berjualan lontong sayur dan bihun goreng. Kalau si Mamah punya uang belanja lebih, kami menikmati sarapan mewah lontong sayur atau bihun goreng bertabur telur dadar buatan Bu Ali.
Dari mereka-mereka inilah akhirnya Aku menyukai dangdut.
Harus kukatakan, sedari kecil kami - Aku dan Aan adikku, terpapar dengan banyak jenis musik.
Mamahku penyuka sejati Janis Joplin, Deep Purple, The Doors, The Rolling Stones, The Beatles, Frank Sinatra, Nancy Sinatra, Pat Boone, Elton John, dan Eric Clapton
Kami tumbuh dan belajar menyenangi penyanyi yang kusebutkan tadi.
Selain itu, Mamahku juga suka Utha Likumahua, Vina Panduwinata, Elfa's Singer, bahkan jajaran artis-artis JK Record hahahaha
Tapi. Tidak pernah. Menikmati. Dangdut.
Awal-awal kami pindah ke Kampung Kramat. Kami tersiksa.
Alih-alih kami dibangunkan oleh kokokan ayam jago, pagi kami dibangunkan oleh suara Hamdan ATT yang membahana, berasal dari kaset yang diputar oleh Pak Sodikun.
Dinding kamar rumah petak itu demikian tipis. Kami merasa terganggu tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Belum lagi, kalau sambil menyiapkan dagangan gorengannya, Pak dan Ibu Sodikun duet bernyanyi mengiringi Hamdan ATT, Mansyur S atau Ida Laila.
Berisik. Berisik. Berisik.
Tapi nampaknya, di lingkungan itu, cuma kami saja yang merasa terganggu. Yang lain sepertinya menikmati.
Lain Pak Sodikun, lain pula Pak Ali.
Pak Ali ini penyuka semua lagu-lagu Rhoma Irama.
Setiap hari, kalau Pak Ali ada di rumah, semua lagu-lagu Rhoma Irama yang dimilikinya diputar.
Kalo radio tape Pak Ali bernyawa, mungkin akan berteriak, "Hentikaaaaaannn!!!! aku lelaaaaah!" hahahahaha
Lama-lama kami terbiasa.
Lama-lama kami suka.
Apalagi Rhoma Irama.
Tanda-tanda kami mulai menyukai lagu dangdut ternyata menjadi 'social lubricant' yang ampuh untuk kami bisa lebih diterima sebagai bagian 'keluarga' di komplek rumah petak itu.
Dari Pak Ali, aku mendengar cerita tentang betapa hebatnya Rhoma Irama.
Setiap mendengar ceritanya yang berapi-api, tumbuhlah rasa kagumku.
Rhoma Irama, hebat!
Kekaguman makin menjadi saat Aku mulai cinta dengan lagu-lagunya.
Setiap pulang sekolah, Aku meminjam kaset-kaset milik Pak Ali. Aku pelajari cengkok lagunya, Aku hapal liriknya.
Susah. Karena menurutku, harmoni pada lagu-lagu Rhoma Irama itu harus dibawakan dengan perasaan. Setiap lagunya punya jiwa dan karakter sesuai isinya.
Hebat!
Pada akhirnya, aku mengidolakan Rhoma Irama dengan sepenuh hati.
Lagu-lagunya menghibur kami sekeluarga saat kami dirundung lara.
Well, nggak cuma keluarga kami nampaknya. Tapi juga keluarga Pak Ali, Pak Sodikun, Mas Budi, bahkan Mbak Emi -kalau Ia lagi nggak mabuk hehehehe.
Bahkan, saat film terbaru Rhoma Irama bersama IDA IASHA berjudul Nada dan Dakwah diputar. Kami beramai-ramai naik angkot Pak Ali pergi ke Cibinong Theatre ikut mengantri nonton. Tiket? 400 rupiah saja waktu itu plus paha bentol-bentol karena digigit kutu busuk :) maklum, kursinya kursi kayu yang tak terawat hehehehe.
Aku punya impian, pada satu saat, Aku harus melihatnya bernyanyi langsung di depanku!
Mimpi itu, kubawa sampai saat ini. Beberapa kali kesempatan untuk melihatnya bernyanyi lewat begitu saja karena satu dan lain hal.
lebih dari dua puluh tahun, aku memendam mimpi ini (mulai lebay hahahahaha)
Sampai akhirnya, kudengar Rhoma Irama mau manggung di Studio 3 dan 4 MNC TV!
Aku bertekad untuk datang.
Jejaring pertemanan digunakan. Tapi tak ada yang seratus persen menjanjikan kepastian aku bisa masuk ke studio 3 dan 4.
Peduli setan. Aku nekad datang kesana.
Seperjalanan. Aku sudah panas dingin.
Antusias dan rasa kuatir campur aduk.
Sampai di MNC TV, aku bingung.
Tak ada orang untuk bertanya.
Akhirnya ngikut nggrombol dengan orang-orang yang kuasumsikan ingin masuk juga ke studio 3 dan 4.
Ternyata benar.
Aku diterima sebagai keluarga besar hahahahaha.
Keluarga besar pecinta Rhoma Irama.
"Sampeyan suka dengan Rhoma Mas?"
"Iya..."
"Wuiiih uedaaan ... Sampeyan kayak bukan penggemar dangdut. Bajunya klimis kayak eksekutif muda!... nama saya Jumadi mas!"
"Saya Agus...", duileeee baju klimis ala eksekutif muda?! hahahaha bo', cuma pake kaos polo sama jeans kaleeeee.
"Lagu favoritnya apa Mas Agus?"
"Setitik air hina mas... saya hapal jaya!"
"Wuiiiih ... lagunya susah tuh mas!"
Ampun, aku bangga banget! hahahaha
Detik-detik menjelang siaran live on-air jam sembilan malam.
Saat itu sudah jam delapan. Tak ada kepastian Aku bisa masuk studio.
Aku sudah resah tidak karuan.
Pokoknya, gimana caranya, aku harus masuk. Mimpi itu tinggal sedikit lagi bisa diwujudkan. Aku harus berjuang! (mulai lebay lagi hahahaha)
Aku berjanji, kalau sampai bisa masuk, aku mau sujud syukur di pintu studio.
Timbul Ide, melipirlah ke gerombolan penonton berbayar. Dengan tujuan, kalau pintu studio terbuka, aku bisa masuk ikut arus penonton berbayar.
Salah!
Koordinator penonton berbayar, bermata setajam elang! hahahahah
"Eh, yang ini bukan penonton bawaan gue nih! BAJUNYA BAJU ORANG KAYA!!"
Duileeeeeh ... pake KAOS POLO SAMA JEANS!!! ... mau nangis rasanya.
Harapanku untuk bisa masuk mulai punah.
Sampai akhirnya, kawannya kawanku Indi menghubungi.
"Halo, Agus ya? sorry, Aku dikasih tau Indi katanya kamu panik nggak bisa masuk? gue tadi abis meeting jadi nggak bisa langsung ketemu... lo ada dimana? gue samperin deh"
Senyumku mengembang seperti bolu kukus yang matang sempurna!
Tuhanku! impian itu terwujud!
Aku bisa masuk studio 3!!!!!
sepeninggal kawannya Indi setelah diantar masuk ke dalam, AKU SUJUD SYUKUR!!!!! hahahahaha
Peduli setan!
Saat pertunjukkan dimulai. Saat Rhoma Irama mulai menyanyi TAK SAMPAI 10 LANGKAH jaraknya dariku.
Aku menangis.
Mimpiku dijawab.
Satu lagu pertama, "Viva Dangdut" ... aku bernyanyi sambil menangis.
Setelah itu, Larutlah dalam keriaan.
Malam itu malam yang paling indah.
Malam saat diriku dibuat merona karena Rhoma.
Terima kasih Gusti Allah.
Satu lagi bukti bahwa doa itu PASTI dijawab.
Mimpi itu pasti terwujud kalau kita percaya.
Sunday, October 16, 2011
Let's Rumble...
The Pianist
Sebenarnya cerita ini pernah kutulis dan diposting. Cuma, kok pengen ditulis kembali :) ... enjoy!
...............................................
Kedai kopi ini sempurna.
Karena, kedai kopi ini menyediakan cangkang yang nyaman saat aku butuh menyendiri mencuri sedikit sunyi.
Karena, kedai kopi ini menyediakan teh bunga yang mujarabnya tidak kalah dengan satu cangkir kopi kental. Dimana lagi ada kedai kopi yang menyandingkan kenikmatan seimbang setimbang kopi dan teh.
Karena, kedai kopi ini adalah panggung kecil yang menampilkan fragmen-fragmen hidup.
Lelaki temu janji dengan perempuan selingkuhan. Adu mulut kecil kemana dan dimana bersembunyi mencari sarang kecil memadu cinta.
Perempuan yang menyeka mulut anak lelakinya yang terlalu bernafsu menikmati roti coklat dan meninggalkan lelehan coklat dimana-mana di sekitar mulut dan kerah baju.
Lelaki bertemu lelaki dan curi-curi berpegang tangan di bawah meja. Cinta itu akan selalu indah jauh melampaui batasan jenis kelamin.
Lelaki menghibur belahan jiwanya dengan kado kecil dan perempuan yang menjerit kegirangan.
Disinilah aku menyendiri mencuri sunyi.
damai sekali.
dan sekali lagi, kulihat dia.
melihat jemarinya menari perlahan diatas tuts piano, selalu meninggalkan kesan rasa.
Terkadang, iramanya membawaku seperti menari di rinai hujan yang bergerak perlahan.
Terkadang, iramanya membuatku merasa rindu tak berketentuan.
Jangan ditanya aku rindu pada apa atau siapa.
Aku tidak tahu.
Aku cuma merasa rindu.
Sekali lagi, kulihat dia hari ini.
Wajahnya kuyu.
bahunya layu.
tak kulihat jiwa di bola matanya.
kemanakah Ia? ... sepertinya jiwanya mengembara.
jemarinya menari pelan.
pelan sekali.
bergerak satu-satu.
denting piano yang Ia mainkan seakan berteriak,
"Kamu tinggalkan aku kelu..."
dan tatapan matanya menyapu ujung jalan yang terlihat dari jendela kedai kopi ini.
Matanya bercerita,
"Aku masih ingat sayang, saat pertama kali aku melihatmu di ujung jalan sana .. berlari-lari menghindari rinai hujan yang rindu ujung celana khaki-mu .... aku sudah jatuh cinta"
"Dan hari berikutnya..."
"Hari berikutnya..."
"Sampai kehadiranmu di ujung jalan sana membuatku kecanduan"
"Hari saat engkau buka pintu kedai ini, adalah hari paling menyenangkan buatku ... meskipun, engkau tak tahu"
"Jemariku seakan berjiwa saat engkau datang. Ia bersenandung girang. Ah, semoga saja rasa itu juga kau bisa raba"
"Aku kecanduan di kali pertama"
Ternyata benar, hidup itu adalah energi yang bertransformasi.
dari pojok ruangan kedai kopi ini, kurasakan hatinya bicara. Lewat denting, lewat mata, lewat air muka.
Sekarang aku semakin awas mengamati bahasa tubuhnya.
Wahai pemain piano, apa lagi yang engkau rasa?
Bahunya makin lunglai. Bahunya bicara,
"Jemariku sekarang sudah berpindah pemilik ... Ia menari di atas tuts piano ini atas kuasamu ..."
"Sekarang, aku kelu .... aku rindu..."
Aku di pojok ruangan juga merasa pilu.
Sekarang, Ia berdiri ... tatapannya menatap ujung jalan.
"Guys, gue balik dulu ya .... sampai ketemu besok...."
Ada kucuri dengar,
"Kasihan ya mas Raka ........ Mas Bayu itu orang baik, kok meninggalnya cepet"
Teh bunga di cangkirku membeku.
Subscribe to:
Posts (Atom)