Rencananya sih mau menulis tentang Hari Ibu.
Katanya sih hari ini.
Walaupun secara pribadi aku ndak menganggap penting, tapi ya sudahlah.. kadang kita perlu penanda untuk lebih menghargai sebuah momen atau mungkin persona yang seringkali ketulusan dan cintanya suka kita anggap sebagai sebuah keniscayaan alias boso enggrisnya 'taken for granted' … wuih, kalimat panjang ini kok kesannya mbois dan SOK intelek ya hahahaha.. nggak aku banget.
Tadinya juga, tulisan tentang Ibu ini mau kubuat super melankolis dengan pilihan kata puitis yang kalo misalnya aku membacanya kembali, aku bisa menangis haru biru semacam sehabis nonton film drama seri Korea.
Tapi niatan itu batal, gara-gara semalam aku berkumpul dengan Aryan, Daniel, Putra, dan Adit bicara soal 'bullying' …
Maaf sok keminggris ngomong 'bullying'. Karena sejujurnya, aku belum menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk kata yang satu ini. Kalo ada yang tau? sini mau kok diberi tahu :) .. alaaah apaan sih gus hehehehehe
Aha! ilham tiba!
Aku mau menulis bagaimana Ibuku melindungi kami anak-anaknya dari dampak psikologis perlakuan bernama 'bullying' ini.
Dari kecil, aku ini target potensial.
Kurus, item, kurang gizi, terlihat rapuh.
Dari kecil, aku sering sering dicemooh dan diteriaki, "Agus banci… Agus banci!"
Karena bicara terlalu 'lemah lembut' untuk kanak seusiaku.
Jarang keluar kelas saat istirahat.
Terlalu asyik dengan duniaku sendiri dengan buku yang kubaca.
Waktu itu, banyak teman sekelas yang tak tahu kalau selepas sekolah, aku juga sangat menikmati mandi di kali dan terjun salto dari pohon kelapa yang tumbuh miring di pinggir kali dengan Aan adikku.
Atau main layangan di sawah lepas panen yang mengering kemudian berubah menjadi tanah lapang bersama adikku.
Bahkan naik kerbau di sawah.
Sedemikian seringnya aku dilecehkan dengan panggilan "Agus banci" sampai akhirnya aku ndak pernah mau datang ke acara reunian SD.
Well, pernah sih sekali sempat datang.
Tapi tak menyenangkan.
"Hi Andi … ini Agus .. masih inget?"
"Agus? Agus yang mana ya? Oooooo Agus banci .. woooi apa kabar? hahahah gila udah lama banget ya nggak pernah ketemu!"
Yak, saya cuma bisa senyum.
Aku sekarang ndak peduli orang ngatain aku apa … Agus banci kek! waria kek! Ndak peduli.
Tapi ketika itu diucapkan oleh kawan jaman SD. Rasa sakitnya masih sama seperti saat aku masih SD dulu.
Dulu, aku sering pulang ke rumah selepas sekolah dengan menahan tangis.
Ibuku tempat mengadu.
"Aku kenapa sih dipanggil banci? aku memang begini? aku biasa-biasa aja kok. Tapi kenapa mereka manggil aku banci cuma karena aku ndak sepaham sama mereka?"
Ibuku cuma berkata,"Mereka cuma iri sama kamu!"
"Aku nggak mau mereka iri. Aku ini kan biasa saja!"
"Kamu istimewa. Kamu punya yang tak mereka miliki. Kamu istimewa!"
"Aku istimewanya dimana?"
"Kamu cerdas. Anak-anakku nggak ada yang bodoh! Kamu perencana yang baik, dan Aan pelaksana yang baik dari semua yang engkau rencanakan! Kalian sempurna! Makanya kalian bersaudara!"
"Aku mau mereka berhenti memanggil aku banci!"
"Betul kamu mau begitu? Baiklah, mulai besok, kalau mereka melecehkanmu lagi, LAWAN! JANGAN PULANG HANYA MENANGIS!"
"Berantem maksudnya Ma?"
"Iya, lawan! Kalau mereka menghinamu, bilang baik-baik kalau yang mereka lakukan salah dan itu membuatmu sakit hati. Kalau ucapan tidak bermakna, HANTAM mereka!"
"Tapi badan mereka lebih besar dariku"
"Kamu mungkin akan kalah. Kamu mungkin akan dihajar sama mereka. Tapi pilih: kamu pulang dengan rasa tidak berdaya atau kamu pulang dengan rasa bahwa kamu sudah membela apa yang kamu yakini benar?"
"Satu lagi Gus, isi otakmu jauh lebih bermutu dari mereka. JANGAN BIARKAN MEREKA MENGUNGGULIMU! KAMU HARUS JADI NOMOR SATU DI ATAS MEREKA!"
Dan itu yang aku lakukan.
Hampir setiap hari, aku pulang dengan muka bengep memar. Atau tangan yang lecet. Atau bahkan kombinasi dari keduanya ditambah dengan kancing baju yang lepas akibat berkelahi dengan mereka yang memanggilku banci.
Aku selalu kalah.
Ya iyalah. Lha wong biasanya melawan lebih dari dua hahahahah
Hampir setiap hari aku dipanggil guru BP.
Katanya Agus sudah berubah jadi anak bengal.
Begitu yang dibilang guruku pada Mama.
Mama hanya tersenyum. Tapi tak pernah meminta maaf atas kelakuanku.
Aku juga ndak pernah disuruh meminta maaf.
Pertarungan fisik kuimbangi dengan persaingan di mata pelajaran.
Tak pernah kumaafkan diriku kalau diantara mereka yang selalu melecehkan itu mengungguliku.
No, I am not gonna let them. To-the-HELL-to-the-NO hahahaha
Masa SD kulalui dengan dagu terangkat.
Aku melawan bullying dengan caraku sendiri.
Dengan cara yang diajarkan Mama.
Masa SMP dilalui dengan cara yang sama.
Tapi yang neraka sesungguhnya adalah masa SMA.
Pernah, selepas jam sekolah. Aku dihadang dijalan.
Diseretnya aku ke kamar mandi kecil dibelakang mushala sekolah.
Satu lawan berenam. Bisa apa aku?
Dilucuti celanaku dan celana dalam.
Diikatnya tangan dan kakiku.
Aku hanya memakai baju sekolah.
Dan, kamar mandi kemudian dikunci.
Aku ditemukan penjaga sekolah jam 7 malam.
Dipikirnya kamar mandi belakang mushala berhantu. Dan hantunya sedang marah.
Padahal itu aku menendang-nendang pintu kamar mandi.
Sampai akhirnya sumpal mulut terlepas dan aku bisa berteriak.
Setelah kejadian itu, aku takut berangkat sekolah.
Tapi Mamaku bilang, "Ingat Gus, LAWAN! jangan biarkan mereka menang!"
Dan setiap berangkat ke sekolah, aku seperti agus kecil jaman SD yang berangkat ke sekolah dengan tantangan yang sama setiap hari.
Aku memilih untuk melawan.
Aku memilih untuk mengalahkan ketakutanku sendiri.
Aku dikuatkan oleh Mama.
Dengan segala pola asuhnya yang spartan dan keras dulu.
Mom, i thank you. With all my heart.
Happy mother's day.
I love you. With all my heart.