Senin pagi.
Ritual pagi bangun tidur sekarang sudah berubah. Biasanya langsung minum segelas air putih. Sekarang? cek bebi bebi cek linimasa kicauan burung kecil biru :)
Dan salah satu kawan yang kuikuti kicauannya pagi ini adalah @rebornsin
Kicauannya pagi ini:
"Pun begitu dengan orang tua yang ngebandingin anak mereka dengan anak orang lain yang lebih sukses... itu gak etis sama sekali lho"
Aku jadi inget masa kecilku dulu.
Ibuku dulu begitu.
Suka mbanding-mbandingin aku dengan kawan sebaya.
Suka maksa.
Suka meneror.
Galak luar biasa.
Serem.
Hahahahaha ...
Bisa jadi celetukan @rebornsin ini sebenarnya ndak nyambung dengan yang kuceritakan nanti. Tapi, pemicu kenangan itu bisa macam-macam.
Tulisan.
Ucapan.
Apapun.
Bahkan yang tadinya tidak diniatkan untuk memiliki konteks yang berhubungan.
Beberapa waktu lalu, karena tulisan ini:
Akhirnya aku membeli buku karangan Amy Chua judulnya "The Hymn of the Tiger Mom"
Buku ini bercerita bagaimana pola asuh yang spartan sungguh. Jauh dari teori bahwa mendidik anak harus dengan cara yang 'halus', tidak mengkritik, dengan tutur bahasa yang halus, memotivasi, membuat anak harus merasa nyaman dengan dirinya sendiri.
Oh NO... sungguh jauh dari itu.
Dan cara Ibu saya mendidik dulu pun, persis beneur cyiin! hahahahah
Aku jadi ingat beberapa nukilan ucapan Ibuku dulu:
"Aku heran, Iwan kok bisa lebih jago matematika dari kamu... padahal belajarnya sama, bukunya sama, gurunya sama sekolahnya sama, tapi kenapa dia bisa lebih hebat?"
"Karena Iwan lebih jago Ma..."
"Nggak, itu karena kamu terlalu MALAS!"
"Tapi aku belajar tiap hari kok... Iwan memang lebih pintar Ma daripada aku!"
"Nggak... kamu cuma MALAS!"
Duileeee...
Dan, sesi spartan menyiksa dimulai. Setiap malam, Ibuku siap dengan penggaris mika disebelahku yang belajar keras mencongak perkalian, pembagian, pengurangan. Kalau jawaban ndak keluar dari mulutku kurang dari lima detik. Hyuuuk buku-buku jariku sukses ditampar penggaris mika.
Setiap malam aku menangis. Setiap malam tersiksa.
Sampai pada satu titik, setiap jawaban sedemikian otomatis keluar dari mulutku tanpa perlu berpikir panjang. Dan jawaban itu BENAR!
"Tuh, bener kan? kamu cuma MALAS... bukan nggak bisa!"
..................................................
"Kamu kenapa pulang nangis?"
"Mainanku diambil Anjari dan teman-teman badungnya ... aku dikatain banci Ma!"
"Anjari dimana?"
"Masih di lapangan"
"Ayo kita sekarang kesana!"
Yes! Anjari bakal dihajar Ibuku! -joged2
"Itu yang namanya Anjari?"
"Iya Ma ..."
"Nah, sekarang, KAMU SAMPERIN MEREKA, AMBIL MAINAN KAMU, BERANTEM! KAMU NGGAK BOLEH PULANG SEBELUM KAMU LAWAN MEREKA YANG NGATAIN KAMU BANCI! MAMA NUNGGU DISINI!"
Buseeet!
Ya, saya sukses pulang kerumah dengan baju sobek, mulut sobek, mata bengep ditonjok, tangan dan kaki lecet-lecet!
"Lain kali, AWAS KALO PULANG CUMA NANGIS! LAWAN!"
...................................................
"Ini lomba nyanyi pertamaku Ma, aku deg-degan!"
"Kamu bisa! KAMU HARUS MENANG!"
"Tapi..."
"Nggak ada tapi-tapi, kamu harus menang karena kamu memang BISA!"
OK, bukannya ditenangkan malah bikin lebih nervous ajijah nih emak ike cyin.
Dan Ibuku pergi ke Pasar Anyar membeli bahan untuk dibuat jas manggung.
Dijahitnya sendiri semalaman. Dengan payet berbentuk burung garuda. Aku melihatnya dengan tekun.
"Mati aku! kalo sampe nggak menang.... waduh!"
Dan benar saja
"Nih, pake! Mama sudah berusaha keras membuatmu tampil ngganteng... KAMU HARUS MENANG karena Mama tau kamu pantas untuk menang!"
Aku naik panggung dengan badan panas dingin luar biasa.
Dan MENANG!
"Tuh kan, menang... ndak usah senang berlebihan... itu wajar!"
Duileee .. dipuji aja kagak hahahahahah
..........................................
Aku ingat pelajaran kali pertama berenang
Kolam renang Milakancana, Bogor.
Kedalaman 1 m.
Aku, Ibu, dan Bapak berdiri di sisi kolam renang.
Tiba-tiba, Bapak mengangkatku dengan ringan seperti ranting kering dan diceburkannya makhluk kecil item manis ini ke tengah kolam.
Aku megap-megap.
Air kolam terminum.
Aku berteriak tolong.
Mereka diam saja.
Aku mau mati.
Mereka diam saja.
Semua anggota tubuh bergerak.
Aku nggak boleh mati.
Dan, akhirnya mengambang. Hidup. Puji Tuhan :)))
"Mama nggak tolongin kamu, karena Mama tau kamu bakal bisa ngambang kok...."
Iyeeee ... ngambang ... untung bukan ngambang karena metong ya bo'
..............................................
Gong dari ancaman Ibu waktu kecil adalah:
"Sini ... Kamu sama Aan (adikku) ... gini ya, Mama udah susah payah membesarkan kalian... cari uang susah. Jadi, kalau kamu sampe nggak naik kelas... Maaf, kalian kukirim ke PANTI ASUHAN aja ya. Berarti Mama gagal mendidik kalian"
Bergidik nggak sih anak kecil digituin.
................................................
But, come to think of it...
Aku sama adikku ndak pernah ada rasa dendam tuh. Malah bersyukur sekarang. Karena 'kekejaman' Ibuku ini sukses membikin kami anak-anaknya tahan banting.
Hidup di luar sana jauh lebih kejam.
Kami diajar untuk tidak terlalu gampang mengasihani diri sendiri.
Kami belajar tangguh.
Ibuku harimau.
Ibumu?