Sunday, May 22, 2011

Memilih Tidak Sembunyi


Hi Janji yang tertunda itu akan kubalas dengan cerita...

Kamu boleh setuju, tidak pun boleh-boleh saja. esensi pertemanan kita kan tidak pamrih tapi membiarkan dua orang dengan pribadi yang berbeda tampil apa adanya dan bebas dari penghakiman :)

Dari kecil, Aku selalu diajar Ibuku bahwa Gusti Allah itu penuh kasih.

Lepas dari ritual keagamaan, Ibuku punya caranya sendiri untuk mengajarku berbicara padaNYA.

Mungkin engkau menyebutnya berdoa. Tapi sedari kecil aku ndak pernah tuh disuruh berdoa sama Ibu.

"Ayo, bicara padaNYA... karena nanti, kalau kau sudah besar, kamu pasti akan dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana bahkan kepadaku, Ibumu ini, engkau tak bisa mengadu. Engkau tak bisa meminta hatimu tentram dengan bicara padaku. Bicaralah padaNYA... tapi jangan hanya saat engkau gundah. Kabarkan padanya berita baik. Supaya saat engkau sedih dan butuh dihibur, IA akan dengan suka hati menerimamu dan mendengar cerita duka"

Kata Ibuku, Tuhan itu sumbernya kasih.

Apapun caranya Aku bicara denganNYA, IA akan selalu bisa mendengar. Mendengar apa yang ada di benak, bahkan pada relung yang paling dalam.

Aku ndak pernah diajar Ibu tentang firman Tuhan.

Tapi Ibu selalu berkata, bahwa firman Tuhan hidup dalam benakmu.

Maka dari itu, dengarkan benakmu dengan sungguh.

Karena di dalamnya Tuhan sudah menyuntikkan firman.

Ibarat komputer, firman Tuhan seperti software yang niscaya ada didalamnya.

Cara yang aneh belajar tentang Tuhan boleh lah kau bilang begitu.

Tapi, buatku pribadi, apa yang diajarkan oleh Ibuku ini, sukses mengantarkanku selamat melewati naik dan turunnya hidup.

Karena Aku merasa IA selalu dekat.

Karena Aku merasa IA tak pernah melupakan.

Karena Aku merasa IA menghiburku selalu saat duka.

Sedikit lepas dari alur cerita, mungkin inilah yang membuatku tidak pernah percaya konsep neraka.

Kalau neraka itu seperti surga, sebuah muara keabadian. Lalu untuk apa menghukum seseorang terus-menerus dan tak memberi kesempatan untuk memperbaiki?

Bisakah penghuni neraka naik kelas pindah ke surga?

Apa maksudNYA menciptakan siksa yang abadi?

Kalau surga itu tempat penuh kebahagian yang tak berkesudahan, apakah justru tidak menimbulkan kebosanan?

esensi dari penghukuman adalah supaya kita belajar? lalu, kalau dihukum dalam keabadian, pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Penghukuman tak berujung bukankah bertentangan dengan kodrat Tuhan yang katanya penuh kasih ya?

Ah, sudahlah, dalam ranah agama yang kamu anut dan dalami dengan sungguh-sungguh sampai belajar ke Amerika sana, pemikiranku tentang ini sah saja engkau cap dengan kata k-e-b-l-i-n-g-e-r :)

Tapi ada satu hal yang ingin Aku sampaikan berkenaan dengan ucapanmu kemarin.

Dari kecil, aku selalu diajarkan untuk selalu jujur. jujur pada diriku sendiri. belajar untuk selalu peka mendengarkan benak. mendengarkan nurani.

keputusan yang diambil, dijalankan dengan hati penuh. Dengan sepenuhnya sadar mengenai konsekuensi apa yang akan terjadi dan dijalani berkenaan dengan keputusan yang ada.

Pergumulan bahwa sejatinya Aku ndak pernah secara seksual tertarik dengan perempuan pun tidak mudah.

Tidak ada kata m-u-d-a-h untuk keputusan menerima kondisi sedemikian.

Sehubungan dengan ini, Aku dari kecil selalu merasa domba hitam yang berjalan pada sisi lain sebuah pagar nyaman dimana didalamnya domba-domba putih berkumpul dengan nyaman dan terkadang mereka berbarengan menatapku dengan pandangan penuh makna.

Aku aneh dimata mereka. hell yeah, Aku pun menganggap diriku juga aneh kok. anomali.

Tapi, bisa apa Aku?

Aku bisa saja sih dengan semir mengubah rambut dan buluku menjadi putih. Sama seperti mereka.

Dan itu berarti, aku harus menyemir rambutku seumur hidup.

Lebih dari itu, Aku harus hapal buku "bagaimana cara menjadi domba putih" seumur hidupku. Dan mengamalkan isinya seumur hidup.

Bisa saja sih. Toh, katanya, kalau sebuah kesemuan dijalankan dan dipercaya sebagai sebuah kebenaran dalam jangka yang lama, maka kita akan percaya bahwa itu adalah benar nyata adanya. bukan begitu?

Tapi, apakah itu yang mau Aku lakukan seumur hidup?

Hidup menawarkan banyak pilihan. Dan kita, ndak pernah punya hak untuk menghakimi.

Jadi, pada ujungnya. Aku memutuskan untuk jujur saja.

Menerima dan menyamankan diri dengan kondisi apapun yang ada.

Nggak mudah. modalnya satu. jujur aja.

Aku akan menganggap ini sebagai salah satu diantara banyak keputusan dalam hidup yang harus dijalankan dengan nurani yang jernih, penuh tanggung jawab.

Jadi gay. jadi manusia. jadi orang baik.

sesederhana itu.

Dengan konsekuensi yang sungguh jauh dari sederhana.

Aku bicara pada Tuhan, "Aku akan menjalankan hidupku dengan penuh kasih dan nurani. Kalau satu keputusan hidupku ini memang harus diubah. Maka Aku akan membiarkan rencana pengubahan itu berjalan menurutMU. Kalau dogma agama diberlakukan untukku. Ndak usah menunggu lama. sebentar lagi, ratusan orang akan menghampiri rumahku dan merajam dengan batu sampai aku mati pelan-pelan kok. Tapi Aku bicara padaMU pada tataran religi dimana tak ada pihak ketiga diantara Aku dan ENGKAU... Aku bicara padamu, ini keputusanku, aku jalani, kalau menurut salah, ENGKAU pasti tak pendek akal. Kutunggu rencanamu mengubah yang KAU anggap keliru"

Ibu kuajak bicara masalah ini.

Berat.

Berat sangat.

Tapi ini konsekuensi dari sebuah keputusan bahwa Aku tak akan sembunyi-sembunyi menjalani hidup. Dan pihak-pihak yang harus kali pertama mengetahui keputusanku, tentu saja beliau. Apa saja bisa terjadi. Dan Aku harus siap.

Jangan ditanya rasanya kayak apa.

Seperti membawa pisau ditangan dan disuruh menusukkan pisau itu ke jantung orang yang paling engkau kasihi, pelan-pelan.

Tapi keputusan harus dijalankan.

Konsekuensi harus diterima.

Kulihat gundah. Kulihat sedih.

Aku bersiap terima amarah.

Tapi Aku tak melihat amarah.

Aku cuma melihat kesedihan.

dan itu. Berat.

Dari mulut Ibuku cuma terucap, "Aku sedih. tapi Engkau telah menjadi lelaki dewasa. Dan melihatmu menjadi lelaki dewasa yang sadar dengan pilihan-pilihan hidupmu adalah doaku. Baiklah, hanya satu pintaku. Jangan suruh Aku berhenti berdoa dan meminta pada Tuhan. Sebab, jika ini harus diubah dan tidak ada manusia yang mampu mengubah, Kuharap Tuhan bisa mengubahmu"

So, here I am...

lelaki yang berusaha menjalani hidupnya. Itu saja.

Menyambung dengan ucapanmu kemarin saat kita ngopi-ngopi.

Boleh-boleh saja mendoakan. Engkau pasti akan mendoakan yang baik-baik. hal yang MENURUTMU baik.

Bagus. itulah guna seorang teman bukan?

Tapi jangan pernah berusaha mengubah hal yang diputuskan tak ingin diubah.

Dampingi mereka, jadilah teman dalam suka dan duka.

Siapa tau, kalau memang Gusti Allah menghendaki rencana hidup mereka diubahkan. IA meminjam tanganmu.

Tapi sekali lagi. Biarkanlah mengalir. Jangan menghakimi. Jangan menggurui. Jangan sok tau mana yang baik untuk mereka.

Soal kegalauan hatimu, sehubungan dengan pilihan-pilihan hidupmu.

Saranku cuma satu.

Jangan mengambil porsinya Tuhan dalam merancang hidup.

Setiap saat, Aku yakin, kita akan selalu bertemu dengan simpang jalan. Dan harus memilih.

Jujurlah. Mantapkan hati sesudahnya. Dan Aku yakin, semuanya akan baik-baik saja :)

Demikian ceritaku.

Semoga pilihan yang Engkau akan ambil kali ini berlandaskan kejujuran.

Karena menurutku, kita tak pernah bisa membahagiakan semua orang. Bahkan orangtua kita.

Tapi kalau memang pilihan itu diambil atas dasar ingin membahagiakan orangtuamu... yang sungguh engkau kasihi ... dengan -mungkin- konsekuensi mengorbankan kebahagianmu sendiri. Aku akan mendukungmu dan berdoa mengharapkan yang baik untukmu. Toh, itu menurutku sesuatu yang luhur.

selamat merenung, memilih, dan memutuskan.



13 comments:

Farrel Fortunatus said...

nice post!! jujur dan touchy bgt, bro. gw juga sudah memilih, tapi sampai saat ini belum bisa 'jujur' dan menjadi diri sendiri dihadapan orang" yang aku sayangi.

Arya said...

Hi Farel :) makasih ya ... hugs

Anonymous said...

Gw juga udah memilih. tapi masih sembunyi sembunyi gw.Masih takut dan malu malu...

Haris Schildhauer said...

Lha kalo kasusku lain rek... Aku sudah came out, sudah bilang bahwa aku berpartner, bahkan sudah berkorban jiwa raga, tapi emakku itu kok ya sering berlagak lupa gitu ya? Tetap saja berhayal suatu saat aku nikah sama cewek. Aku sampai ndak habis pikir gimana cara menghadapinya, mau melawan takut kuwalat, hiks...

Arya said...

bedjo: ya ndak usah dilawan dong. diterima saja. Setiap orang tua akan selalu mendoakan yang baik untuk anak-anaknya. apa pun versi yang baik itu menurut mereka. Terima saja sebagai doa yang baik dari orangtua :) begitu menurutku sih ....

Anonymous said...

Dari satu post ini, gue asli impressed. Ini post pertama yang gue baca dan gue impressed.

Gue link boleh?

Lintz said...

Butuh nyali untuk jujur dan memperjuangkan kebahagiaan diri. Kl bukan diri kita sendiri, siapa yg peduli? Salut..!!

Arya said...

hi onemellowidiot: boleeeeh :) salam kenal yaaa


Lintz: betul :) karena jujur itu ujiannya sulit. makanya banyak yang nggak lulus heheheheh

Manusia Bodoh said...

Huhuhuhu...
*pengin nangis*...

luke! said...

baru baca *telat beberapa bulan* and this bring tears to my eyes.

ah, si abang. paling pintar merangkai kata2 :)

thank you for the nicest story i read today.

Anonymous said...

Nice post, as always :)

-yodee

dee said...

saluttt atas keberaniannya cerita ke ortu, terutama ibu! hi, salam kenal ya. Aku punya beberapa temen yg sampe sekarang masih mendekam in their own closets. Ada sih aku ceritain juga di blogku, tapi in a more cengengesan way. Feel free to visit here http://twaddledee.wordpress.com/2011/10/19/i-think-im-gay/

Meanwhile, kudos to you!

Unknown said...

"...dimana tak ada pihak ketiga diantara Aku dan ENGKAU"
I so love that line :)
Thanks for sharing.