Thursday, October 08, 2009

Surat Cinta ... (Part 2)



Kutemukan surat ini di sela tumpukan kertas tak bergunda di gudang.

Tak sampai kalimat pertama selesai, aku sudah tidak kuasa membendung air mata.

..........................................

Surat untuk Agus Hariyo Purnomo.

Anakku, ini Bapak.

Mungkin lembaran surat ini tak akan pernah engkau tahu ... tak akan pernah kau baca. Karena, aku tak cukup kuat untuk memberikannya.

Menulis surat ini seperti memutar ulang kaset video dan menikmati detik-detik gambar lama muncul kembali.

Aku masih ingat, bagaimana lucunya dulu mamahmu ngidam jaman mengandung jabang bayi anak sulungku. Mosok tho cah bagus, Mamahmu itu harus setiap pagi diantar ke pom bensin untuk membaui aroma bensin supaya rasa mualnya hilang.

Atau, Bapak juga masih inget gimana bingungnya nyari tiwul pagi-pagi buta buat Mamah karena engkau yang mengendon di kandungannya berteriak-teriak minta tiwul.

Apa pun, aku rela lakukan saat engkau dimunculkan ke dunia. dari kamu nyaman di perut Mamah sampai suaramu terdengar pertama kali di dunia.

Saat tanganmu menyentuh kulit Bapak pertama kali... aku seperti menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Bahkan, rasa ini mengalahkan apa yang Bapak dulu rasakan waktu Bapak menikah dengan Mamahmu.

Kamu, membuatku menjadi lelaki paling beruntung ... paling bahagia di dunia.

Engkau adalah anugerah terindah dan paling berharga untukku.

Agus, Bapak minta maaf kalau selama ini bersikap keras sama Agus.

Untuk menjagamu ... anakku, aku membangun benteng yang kokoh untuk melindungimu. Dunia di luar sana begitu keras, kejam dan setiap saat menginginkanmu untuk tersakiti. Biarkan aku menjadi bentengmu. Tempat dimana engkau terlindungi dan merasa aman sama seperti saat engkau ada di perut Mamah.

Yang aku tidak sadari... dimatamu, aku menjadi seperti tembok yang dingin, kaku tanpa hati.

Engkau kesulitan melihat sisi rapuhku sebagai seorang Bapak .. orang tua ... seorang manusia.

Aku tak seperti Mamah yang mampu mencairkan lara dengan senyum

Aku tak seperti Mamah yang mampu mengisi sudut ruang dengan suara gitar dan nyanyiaan

Mungkin juga, aku tak pernah bisa sabar mengajarimu berenang

Tapi dalam dinginku... aku menyimpan sejuta kebanggaan padamu.

Hatiku bersorak saat engkau menang lomba Porseni dulu jaman SD

Aku tertawa geli dalam hati saat melihatmu memakai kostum nyanyi buatan Mamahmu yang sungguh ajaib itu.. meskipun entah kenapa, yang keluar dari mulutku adalah komentar kalau bajumu itu kayak kostum monyet. Ketahuilah, setelah ucapan itu terlontar aku menyesal sekali wahai Anakku.

Maafkan aku yang tak pernah bisa hangat padamu.

Aku tak pernah belajar menjadi hangat.

Dulu, saat Bapak masih kecil. Bapak harus bersaing dengan 10 saudara kandung, 5 saudara tiri dari Eyang Putri Sumo dan 4 saudara tiri dari Eyang Putri Saren.

Aku tak pernah tahu betapa elusan tangan di kepala itu bisa membuat hati hangat. Aku tak pernah tahu rasanya.

Aku tak pernah tahu betapa ucapan, "kamu pintar deh!" bisa membuat hati tersenyum. Aku tak pernah tahu rasanya.

Yang aku tahu, asal bayaran sekolah ndak telat dan perut kenyang. sudah cukup.

Maafkan karena aku gagal memahami maksud hatimu

Maafkan karena aku gagal memberikan rasa hangat di hatimu.

Maafkan saat engkau memberiku kemeja hasil dari honor pertamamu nyanyi di kawinan, aku melengos tak berucap terima kasih.

Asal engkau tahu anakku ... di kantor, Bapak selalu tak bosan bercerita dengan bangga kalau anakku punya suara paling merdu.

Asal engkau tahu anakku ... temen-temen Bapak, bosan dengar cerita kalau engkau itu sungguh kreatif dan bersemangat dengan mimpi-mimpimu.

Tapi,

Satu hal yang sungguh aku sesali adalah...

Betapa dulu aku demikian egoisnya meninggalkan kalian semua.

Betapa aku tak menimbang hati saat itu.

Betapa aku tak peduli sedihmu.

Saat engkau menerimaku kembali. Semakin menggununglah rasa sesalku.

Engkau telah berbesar hati menerima, bahwa Bapakmu ini sebenarnya lelaki tanpa daya dan pendek akalnya.

Engkau, Aan dan Mamah telah berbesar hati untuk memberikanku kesempatan kedua.

Dan untuk semua yang sudah aku lakukan ... aku meminta maaf

Dan untuk semua yang sudah Engkau berikan .. terima kasih.

Bapak sayang sekali sama Agus, Aan dan Mamah.

Bapakmu,

Sandiyo


------------------------------------

Disarikan dari pembicaraan Bapak dan anak sore hari sambil minum kopi, lima tahun yang lalu


4 comments:

Putra said...

Mas, saya selalu senang membaca blognya. It's always nice and touchy. I'm a big fan of yours. Kalo aja bapakku bisa baca blog ini.

Knox said...

Gila...tharu bacanya bang, mirip sperti kisah saya :`(

penari rajam said...

merinding mas.. berharap punya bapak dengan jiwa sebesar itu

Arya said...

Penari rajam : aduh, serem sekali namanya:) setiap orang tua selalu berjiwa besar kok :) tinggal cara kita berkomunikasi aja .. i know this may sounds easy .. but believe me , i learn the heard way :)

knox: we share the same mystery