Saturday, October 10, 2009

Surat Cinta ... (Part 3)



Aan, adikku.

Ini Mas Agus.

Coba tebak aku lagi dimana?

Betul, aku sedang ada di sebuah kedai kopi dimana aroma yang selalu berhasil menenangkan benak, bersarang. Kamu kan tahu, dari kecil setiap aku sedang gundah, kamu selalu akan mendapati Mas ngendon di dapur menyeduh kopi dan membaui kepulan yang meruapkan aroma kopi sampai percampuran air panas dan bubuk kopi mendingin kehilangan daya tanpa sedikit pun aku terpikir untuk meminumnya.

Aroma kopi membuat damai

Tapi seperti kau tahu juga, aku selalu memilih bersekutu dengan teh.

Secangkir kopi susu ada di depanku sekarang.

uapnya berarak memasuki lubang hidung.

Dan membawaku membuka kembali gambaranmu di benakku.

Satu hal yang aku sesali sampai sekarang wahai Aan, adikku. Kita tidak pernah punya foto-foto jaman kita masih kecil.

Pergi ke studio foto atau membeli tustel sepertinya tidak pernah terlintas dalam pikiran kita waktu itu. foto dan tustel sepertinya benda mewah buat kita.

Jangan kuatir, kita tidak perlu benda itu untuk membantu mengenang peristiwa-peristiwa penting dalam hidup kita.

Kenangan itu telanjur menggurat dalam benak. Meninggal bekas yang jelas dan teraba sedemikian nyata.

Kamu dan Aku seperti satu keping koin recehan semesta.

Satu dengan dua sisi yang berbeda.

ketika yang satu kehilangan sisi yang lain, maka Ia jadi kehilangan maknanya.

demikian pula kita.

Engkau adalah kepingan jiwa yang melengkapi.

Aku adalah kepingan jiwa yang menggenapimu.

Jaman kita kecil dulu,

Kamu adalah Jendral

Aku adalah staf ahli hehehe.

Aku si peramu.

Kamu agen yang membuat ramuan menjadi nyata.

Masih kuingat, kenakalan-kenakalan jaman kita kecil.

Mencuri pepaya bangkok.

Mengambil pucuk-pucuk muda daun singkong untuk dibawa pulang.

Main layangan sampe gosong kulit.

Aku si cengeng penakut

Kamu si gagah pemberani

Bersamamu aku merasa dilindungi.

Setiap kenakalan yang kamu buat, aku ada.

Sekarang aku mengerti... kenapa setiap kenakalan yang kamu lakukan, dengan sadar kau tidak lupa menyertakan aku, kakakmu ini.

Supaya Mamah akan sedikiiit berkurang ngamuknya kan? :) hahahahaha.

Kita berbagi mimpi yang sama.

Aku masih ingat jelas pembicaraan kita dulu sebelum tidur.

"Mas, pokoknya kita harus bisa lebih baik dari Bapak ya... aku mau jadi Polisi!"

"Iya, aku juga... aku mau jadi Polisi... Akabri!"

"Kalo Mas gagal ... kamu jangan gagal ya! janji!"

Aku sudah mencoba... dan gagal waktu itu ... sedihnya bukan kepalang.

Kamu cuma berkata singkat, "Tenang Mas ... Aan pasti nggak gagal!"

Kamu menghidupkan kembali mimpi masa kecil kita.

Masih kuingat, betapa dadaku meledak bangga saat pertama kali kamu pulang pendidikan. Kepala botak, seragam coklat, sepatu tentara ...

Adikku gagah sekali.

Masih kuingat, aku menangis tak henti saat melihat upacara kelulusanmu.

Kamu adalah kebanggaanku seumur hidup.

Aku saksi hidup perubahanmu menjadi lelaki sejati.

Masih kuingat jelas, saat kamu ijab kabul.

Adikku sudah menemukan jalan hidupnya ... paripurna.

Jangan ragu adikku ... saat engkau menoleh ke belakang. Aku akan selalu setia melihat punggungmu dan memastikan bahwa engkau akan baik-baik saja.

Aral yang melintang biar aku hadapi.

Sama seperti saat kecil kamu gagah berani berantem dengan siapa pun yang mengganggu kakakmu ini.

Satu permintaanku.

Meskipun engkau sudah memiliki dunia kecilmu. Anak yang lucu... Istri yang baik budi.

Berikan sedikit waktu untuk Mamah ya.

Mumpung saat ini, kamu yang paling dekat dengannya sementara aku di rantau.

Ajaklah ia bicara hati ke hati sesering yang kamu bisa.

Semakin tua, semakin gampang ia diserang sepi.

Manjakan Ia sesering yang kamu bisa.

Ajak Ia makan enak beramai-ramai dengan cucu kesayangannya dan istrimu.

Aku akan menelpon Mamah sesering yang aku bisa.

Mengirimkan uang saku walaupun Ia tak meminta.

Memanjakannya sebisaku.

Dulu Ia sudah menjaga kita.

Sekarang giliran kita.

Selamanya, engkau akan menjadi kebanggaanku yang paling berharga.

kepingan jiwa yang melengkapi.

Aku sayang sama Aan.

Perkawinan air panas dan bubuk kopi di cangkirku sudah kehilangan dayanya.

Aku sudahi saja surat ini ya.

Peluk cium dariku, Kakakmu.

Agus Hariyo Purnomo.

-----------------------------------

Disarikan dari pembicaraan hati di pagi hari tanpa kata sambil menikmati satu kerat roti dan kopi.



4 comments:

Knox said...

Nice..
Pasti dia juga bangga punya abang sperti lo :-)

Arya said...

knox : thank you :) aku melambung dengan pujianmu ini .. salam kenal

Anonymous said...

waaaah senangnya minum kopi...
makasih dah mampir ke blog-ku yah... :)

Devi Sitorus said...

Aku terharu. Netes nih air mata..

Sepertiny bisa jadi inspirasi buatku yang anak sulung ni...