Sunday, September 12, 2010

Yang namanya CINTA, luar biasa (Mudik 2010 part I)


Kalau Saya baterai, ini adalah saat dimana sang baterai sedang dikalibrasi dan diisi ulang sampai penuh dayanya.

Saya pulang.

Saya, rindu pada Ibu.

Saya, rindu pada seisi orang rumah.

Pada mereka, kutitipkan daya hidup.

Ketika pulang, semua momen, rasanya dibubuhi dengan penyedap rasa bernama CINTA.

Nikmat luar biasa.

Sambal terasi teman sayur lodeh buatan si Mamah, semakin lama, makin sedap saja rasanya.

Bangun tidur pagi karena teriakan keponakan tersayang, Raihan, adalah alarm yang sungguh membelai.

Sarapan, makan siang dan makan malam dengan tatapan kagum si Mamah yang terheran-heran dengan kapasitas lambung yang mengarah rakus selalu saja menyenangkan.

"Enak?"

"Enak luar biasa Mah..."

"Kalau kamu ndak ada di rumah, Aku selalu kangen melihat kamu makan sedemikan lahap... nggak ada di rumah ini yang serakus kamu!"

Malam pertama Saya di rumah, dihabiskan dengan menemani si Mamah nonton sinetron dikamarnya sampai Ia terlelap.

Tak pernah mengerti kenapa para Ibu yang Saya kenal suka sekali terpapar dengan kekerasan, intrik kasar dan serapah di setiap sinetron yang kabarnya sih, si produser sinetronnya sendiri melarang keluarganya untuk menonton sinetron yang mereka buat.

Demikian jauh dari nyata.

Demikian miris dramanya.

Si Mamah terlelap sebelum sinetron kesayangannya selesai dongengnya.

Televisi masih menyala memuntahkan gambar dan suara.

Saya memperhatikan Mamah.

Dengkur halusnya menenangkan.

Pada kerut-kerut halus di matanya, Saya menitipkan banyak cerita.

Kulitnya sudah mulai kisut.

Menua.

Inilah perempuan perkasa yang dulu dan sampai sekarang demikian banyak mengajarkan saya makna hidup.

Mengajarkan saya keihklasan.

Mengajarkan saya makna berjuang.

Mengajarkan saya mencintai.

Mengajarkan saya hidup.

Pada kerut-kerut halus di matanya, Saya menitipkan banyak cerita.

Cerita tentang mimpi.

Cerita tentang suka.

Cerita tentang tangis.

Cerita tentang hidup.

"Ketika menua, ternyata gampang sekali kita diserang sepi. Kamu nggak marah kan kalau aku menelponmu sering-sering?"

"Agus, lagi apa? lagi kerja ya? Mamah mau cerita!"

"Seneeeng deh dibeliin tas! Makasih ya Nak!"

"Setrikaan di rumah udah jelek..."

"Kamu kirim uangnya ya? asik... makasih ya Gus!"

Sekali lagi saya memandang si Mamah.

Dengkurannya halus.

Air mukanya yang tenang tak bisa menutupi kerut-kerut kulitnya.

Pada kerut-kerut halus di matanya, saya menitip pesan.

Kamu, dulu tak pernah mengeluh saat saya kencing di celana.

Tak pernah lelah saat saya butuh diangkat ketika belajar menapak.

Tak pernah marah saat saya minta dituntun karena dunia di depan sana serasa hal baru yang menakutkan.

Tak pernah hilang sabar saat saya cerewet untuk hal-hal yang remeh rasanya.

Saat engkau menua.

percayalah, Saya akan selalu ada sama seperti dulu engkau selalu ada.

Tubuhmu menua.

Tapi untuk saya, hati dan cintanya, selalu sama.



2 comments:

setan said...

ye...ye...
nulis lagi :D

Arya said...

hi setan :) iya nih ... udah bangun dari hibernasi hehehehe