Friday, January 08, 2010

Pemantik Api



Malam ini, tiba-tiba aku kangen sama Eyang Kakung Marto Utomo.

Ayah dari si Mamah.

Pemicunya sederhana.

Aku lihat pemantik api di mejaku.

Dulu, setiap libur sekolah, Aku selalu di kirim liburan ke Yogya.

Senang bukan kepalang.

Waktunya untuk badung sepuas-puasnya.

Buatku, Eyang Kakung Marto adalah salah satu orang yang sungguh berjasa.

Ia adalah salah satu orang yang berjasa menempa kepekaan rasa untuk melihat hal sederhana menjadi luar biasa.

Dulu Eyang punya pemantik api yang luar biasa bagusnya.

Setiap aku libur sekolah. Setiap aku dikirim ke Yogya.

Tak bosan rasanya meminta untuk bisa memiliki pemantik api miliknya yang luar biasa bagusnya itu.

"Pemantik api ini buatku ya Eyang! boleh ya? ya ya ya !?"

Tiga kali kenaikan kelas .... Tiga kali liburan ... tiga kali ditolak.

"Lha ... piye, kalo pemantik api ini buatmu ... Eyang terus mbakar rokoknya pake apa?"

Tiga kali kenaikan kelas ... tiga kali liburan ... tiga kali jawaban yang sama.

Sampai akhirnya,

"Pemantik ini boleh buatmu ... tapi kamu harus bayar sama Eyang!"

"Kenapa nggak jadi hadiah ulang tahunku aja sih Eyang?"

"Berani bayar sama Eyang?"

"Berapa ?"

"Alat tukarnya bukan uang!"

"Lalu apa ?"

"Setiap hari, kamu harus bercerita sama Eyang ... kamu harus mendongeng! buatkan Eyang dongeng!"

Permintaan yang aneh.

Ritual dimulai.

Setiap pagi setelah sarapan, Eyang Marto pegang satu benda.

"Hari ini barang yang Eyang pegang, adalah senter! buatkan aku dongeng tentang senter! malam sebelum kamu tidur, kamu harus baca dongengmu di depan Eyang!"

Sambil bermain di luar, otakku bekerja merangkai kata menjadi cerita tentang senter.

"Hari ini barang yang Eyang pegang, adalah sebatang pensil! buatkan aku dongeng tentang sebatang pensil! malam sebelum kamu tidur, kamu harus baca dongengmu di depan Eyang!"

Sambil bermain di luar, otakku bekerja merangkai kata menjadi cerita tentang sebatang pensil.

"Hari ini uang koin 25 perak!"

"Hari ini kunci gembok!"

"Hari ini sendok nasi!"

"Hari ini sandal jepit!"

Pokoknya, barang apa saja yang terlihat matanya pertama kali, itu yang jadi pekerjaan rumahku untuk membuat dongeng.

Demikian setiap hari.

Sampai liburanku selesai.

Sampai aku harus dikirim pulang kembali ke rumah.

Pemantik api akhirnya jadi milikku.

Tapi sebenarnya, Eyang Kakung memberi lebih dari itu.

2 comments:

NEZT said...

Nice story

:)

Anonymous said...

jangan-jangan eyang kakungnya seorang penulis esay?
he...
kenapa tulisan (pekerjaan rumahmu) itu dipublikasikan di media?

But, TQ atas ceritanya.